
Oleh: Cholifia Nurchaliza
Azzura adalah namaku, saat ini umurku 24 tahun. Aku memiliki seorang anak perempuan yang kuberi nama Diva Algifari yang baru menginjak umur tiga bulan. Nama Algifari tersebut aku ambil dari nama belakang ayahnya. Dia sangat cantik, kulitnya putih, rambutnya pekat seperti ayahnya, bahkan gaya tidurnya pun sangat mirip dengan ayahnya. Aku sangat yakin jika ayahnya melihat dan mendampingi tumbuh besar putrinya saat ini pasti bahagia. Namun sayangnya itu semua tidak mungkin terjadi.
Fito Algifari namanya, dia ayah dari anakku. Dulu aku dengan Fito menikah secara ta’aruf. Namun aku sempat menolaknya, menurutku dia tidak cocok dengan aku bahkan sangat jauh. Fito adalah seorang santri yang paham dengan agama, sedangkan aku seorang anak pembangkang yang setiap harinya menghabiskan harta orang tuanya buat dugem bahkan mabuk-mabukkan. Orang tuaku sangat kenal baik dengan Fito karena orang tuanya sahabat baik dari Ibu aku. Kedua orang tua Fito telah meninggal akibat kecelakaan sejak Fito berumur sepuluh tahun. Semenjak orang tuanya tiada Fito tinggal di salah satu pesantren, dan orang tuaku lah yang membantu mengawasi dan membesarkan Fito.
Beberapa kali aku mencoba menunjukkan keburukanku kepada Fito agar perjodohan ta’aruf ini tidak di setujui olehnya. Tetapi semua cara itu gagal, Fito begitu sabar menghadapi tingkah aku. Sampai pada akhirnya ta’aruf itu berlangsung dan aku menikah dengan Fito. Aku yang mulai mencoba untuk menaruh hati kepada Fito suamiku, cara dia memperlakukan aku itu membuat aku perlahan-lahan mulai jatuh cinta. Hari pertama setelah pernikahan…
Fito : “Selamat pagi istriku, ayo kita sholat subuh habis itu membaca al-qur’an Bersama-
sama.”
Azzura : “Ahh aku masih ngantuk, jangan bangunkan aku cukup kamu saja yang sholat.”
Hari itu aku terpaksa bangun, yang bahkan sama sekali aku tidak pernah merasakan sholat subuh. Dengan kesabarannya dia menuntun aku, mengajari, membimbing untuk menjadi lebih baik, terutama istri sholehah. Mulai hari itulah aku terbiasa sholat tanpa ada paksaan dari suamiku. Ya walaupun awalnya aku menikah dan menjalankan sholat itu karna terpaksa. Hari kedua pernikahan…
Fito : “Aku mempunyai kejutan buat istriku, ayo ikut aku ke kamar.”
Azzura : “Apaan? bikin aku penasaran.”
Tak disangka-sangka kejutan itu adalah tiket umrah kita berdua. Antara senang tapi aku bingung bagaimana aku melaksanakan umroh sedangkan sholat saja aku baru belajar. Tetapi suamiku tetap meyakinkan aku bahkan dengan sabarnya mengajarkan agama yang lebih padaku. Pada akhirnya di hari ke tiga pernikahan aku dan suamiku berangkat untuk melaksanakan ibadah umrah. Aku yang semakin kagum dengan kesabaran suamiku dan rasa cinta ini semakin tumbuh terlebih selama dua minggu kita berada di kota suci Mekkah.
Tepat di hari ke dua puluh pernikahan kita berangkat pulang menuju rumah. Tak sampai di situ, ketika aku sampai dan membuka pintu kamar ada lagi kejutan yang entah kapan suamiku mempersiapkan itu. Sebuah tiket ke Bali yang terletak diatas kasur. Tiada henti suamiku membuat aku sangat bahagia. Rasanya saat ini aku menjadi wanita yang sangat diratukan. Bahkan sebelumnya aku tidak perbah merasakan kebahagiaan ini. Paginya pun kita berdua berangkat untuk ke Bali.
Di hari ke dua puluh empat pernikahan, kami beranjak pergi meninggalkan Bali untuk kembali ke rumah menjalankan aktivitas kembali. Suamiku kembali bekerja di perusahaannya, sedangkan aku kembali menjadi ibu rumah tangga di rumah. Malam itu aku sangat capek, aku terlelap dalam tidurku di sebuah kursi ruang tamu. Sungguh mimpi yang indah, aku bermimpi mengandung dan melahirkan seorang anak perempuan yang begitu cantik. Tiba-tiba aku terbangunkan oleh mimpi itu, waktu menujukkan pukul 04.00 pagi dan tak sadar aku sudah berada dikamar tidur disamping suamiku. Mungkin saja tadi malam suamiku yang memindahkan aku.
Azzura : “Sayang ayo bangun sholat subuh.”
Fito : “Selamat pagi sayang, iya kamu wudhu duluan.”
Pagi itu, di hari ke dua puluh lima pernikahan, aku menceritakan mimpiku kepada suamiku. Walapun kami baru saja menikah tetapi kami sudah mengharapkan buah hati. Begitu juga dengan orang tuaku, yang setiap harinya selalu menanyakan apakah aku sudah ada tanda-tanda kehamilan. Aku memang sudah telat haid selama empat hari, tetapi setelah aku tes pack hasilnya garis satu. Itu tidak membiuat kekecewaan suamiku, dia malah semakin menyanyangiku dengan cara sederhananya.
Hari ke dua puluh tujuh pernikahan, pagi hari tepat pukul 03.00, Aku terbangun dari tidurku, dan melihat disamping tidak ada suamiku. Memanggil-manggil pun tidak dijawab. Aku mencarinya menuju ke kamar mandi, Aku kaget sangat kaget suamiku sudah tidak sadarkan diri di dalam kamar mandi terseput. Tanpa pikir panjang aku membawanya ke rumah sakit. Dokter mengatakan bahwa suamiku jantungnya sangat lemah, dia mengidap penyakit jantung bawaan dari lahir yang bahkan aku bru mengetahuinya. Selama ini dia tidak pernah menceritakan kepada siapapun.
Hari ke dua puluh Sembilan pernikahan, dua hari suamiku tidak sadarkan diri. Aku senantiasa menunggunya ditemani dengan kedua orang tuaku. Segala do’a aku panjatkan untuk kesembuhan suamiku. Aku sangat takut kehilangannya, rasa cinta dan sayang ini telah tumbuh begitu dalam lebih dari aku menyayangi diriku sendiri. Sampai aku pun ikut jatuh sakit, pusing, mual, dan lemas rasanya. Namun, apalah dayaku tepat dihari itu juga, suamiku dinyatakan tiada meninggalkan aku selama-lamanya.
Hancur begitu mendalam hatiku, duniaku terasa runtuh. Kebahagiaan yang aku rasakah kini telah purna. Orang tua aku terus menguatkan aku untuk selalu bersabar atas cobaan ini. Aku pun yang terus berdamai dengan semua ini. Sampai pada akhirnya satu minggu berlalu dari kepergian suamiku, Aku merasa ada yang aneh dalam badanku. Seperti menandakan bahwa aku hami. Dan benar setelah aku tes pack aku dikasih kepercayaan Allah untuk mengandung. Tetapi apa arti semua ini, jika pada akhirnya aku mengandung tetapi suamiku telah tiada.
Pikiranku mulai gila, aku mencoba beberapa kali untuk menggugurkan janin yang aku kandung. Semua itu tidak berhasil. Orang tuaku yang selalu menemaniku di saat-saat kehancuranku. Sampai pada akhirnya Sembilan bulan berlalu, aku melahirkan seorang anak perempuan yang begitu cantik persis dalam mimpi waktu itu. Aku yakin jika suamiku masih ada dia akan sangat bahagia sebahagia mungkin.
Sayangnya tidak, aku telah iklas menerima semua keadaan ini. Aku menjalani hidup sebagai seorang ibu anak satu. Aku tidak menyesali kehidupanku. Menikah dengan suamiku, Fito Algiari adalah kebahagiaan tak tidak ada tandingnya. Begitu juga dengan buah hatiku dengan suamiku Diva Algifari adalah anugerah yang paling indah aku miliki. Meskipun pernikahanku hanyalah sebatas dua puluh sembilan hari, Tetapi status sebagai orang tua adalah seumur hidup. Inilah ceritaku dulu sebelum pada akhirnya aku sampai di titik ini.