Oleh Zahra Agid Tsabitah
Tradisi merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, terutama di daerah-daerah yang masih menjunjung tinggi warisan leluhur. Salah satu tradisi yang masih hidup di tengah masyarakat Jawa adalah sistem penanggalan Aboge, singkatan dari “Alif Rebo Wage”. Sistem ini merupakan bentuk akulturasi antara kalender Hijriyah dan kalender Jawa yang sudah berlangsung turun-temurun. Meski di banyak tempat mulai ditinggalkan, tradisi Aboge tetap lestari di beberapa wilayah, salah satunya di Desa Lamuk, Kecamatan Tlogomulyo, Kabupaten Temanggung.
Sistem penanggalan Aboge digunakan oleh sebagian masyarakat untuk menentukan hari-hari penting keagamaan dan adat. Dalam praktiknya, perhitungan hari besar Islam seperti Idul Fitri dan Idul Adha dalam kalender Aboge seringkali berbeda dengan kalender pemerintah. Perbedaan ini bukan karena ketidaktahuan, melainkan karena adanya sistem hitungan tersendiri yang diyakini oleh para penganut Aboge. Di Desa Lamuk, misalnya, warga yang mengikuti tradisi ini merayakan Lebaran satu atau dua hari setelah kebanyakan masyarakat Muslim lainnya. Namun, perbedaan ini tidak menimbulkan konflik, justru memperlihatkan sikap toleransi dan kerukunan antarkelompok dalam satu desa.
Masyarakat Desa Lamuk tidak hanya menggunakan Aboge untuk menentukan hari raya, tetapi juga untuk berbagai kepentingan adat seperti waktu terbaik menggelar hajatan, memulai tanam, hingga memilih hari baik untuk pernikahan dan pembangunan rumah. Tradisi ini diwariskan secara turun-temurun, biasanya melalui para tetua adat atau tokoh masyarakat yang memahami perhitungan hari dalam Aboge. Meskipun tidak semua warga Desa Lamuk menganut Aboge, mereka tetap menghormati keberadaan dan praktik tradisi tersebut.
Keberadaan Aboge di Desa Lamuk mencerminkan kearifan lokal yang sarat nilai spiritual dan sosial. Tradisi ini bukan sekadar penanggalan, melainkan menjadi bagian dari identitas budaya yang menyatukan komunitas. Di tengah gempuran teknologi dan globalisasi, masyarakat Desa Lamuk berhasil menjaga keseimbangan antara kehidupan modern dan warisan leluhur. Mereka tidak menolak perkembangan zaman, namun tetap mempertahankan tradisi yang memberi makna dalam kehidupan sehari-hari.
Tradisi Aboge di Desa Lamuk menunjukkan bahwa warisan budaya tidak harus ditinggalkan untuk menjadi modern. Justru, dengan mempertahankan kearifan lokal seperti ini, masyarakat memiliki akar yang kuat dalam menghadapi perubahan. Aboge menjadi simbol keteguhan dan keberlanjutan budaya Jawa yang masih hidup dan relevan hingga kini.