Akal imitasi atau yang kita kenal dengan AI (Artificial Intelligence) kian berkembang pesat, menghadirkan polemik serta perdebatan yang tak kunjung surut. Implementasi AI di berbagai sektor, termasuk jurnalistik, terus dieksplorasi, mengubah cara kita memahami dan mengonsumsi berita. Dengan berbagai inovasi seperti SearchGPT dari OpenAI dan pendanaan skala besar untuk eksperimen AI di bidang media, jelas bahwa AI bukanlah sekadar tren sementara. Kehadiran teknologi ini semakin nyata dan relevan dalam keseharian kita, mulai dari media sosial hingga e-commerce, yang memperlihatkan bagaimana AI terus menetap dan memengaruhi hampir semua aspek kehidupan kita, termasuk jurnalistik.
AI dan Jurnalisme: Peran yang Tidak Tergantikan?
Dalam jurnalisme, implementasi AI menghadirkan berbagai perspektif baru. Meskipun banyak yang setuju bahwa peran jurnalis tetap tak tergantikan, AI menimbulkan pertanyaan: bagaimana teknologi ini akan terus memengaruhi praktik jurnalistik? Dalam kasus terbaru, seorang jurnalis di Wyoming mengundurkan diri setelah salah satu kutipan yang digunakan terbukti dihasilkan oleh AI. Meskipun kontroversial, hal ini menunjukkan bagaimana integrasi AI dalam jurnalistik telah menimbulkan dilema etis yang menarik perhatian.
Perusahaan di balik teknologi Generative AI kini menawarkan berbagai pendanaan untuk memperluas eksperimen AI di bidang media. Misalnya, The Atlantic dan beberapa media lainnya mulai bekerja sama dengan SearchGPT, diikuti oleh pendanaan dari Perplexity untuk sekolah jurnalistik di Northwestern Medill. Semua ini menunjukkan bagaimana AI menjadi alat yang semakin signifikan dalam jurnalisme modern.
Disrupsi Digital dalam Media
Teknologi AI telah menciptakan disrupsi besar, mulai dari cara berita dikumpulkan hingga distribusinya. Tak hanya berdampak pada aspek teknis, model bisnis media juga terganggu. Media harus mencari model baru untuk bisa bertahan, termasuk melalui pelanggan berbayar dan iklan, namun ini tidaklah cukup. Karena itu, berbagai perusahaan media beralih ke pendekatan SEO (Search Engine Optimization) untuk memastikan konten mereka mudah ditemukan di internet. Namun, dengan hadirnya SearchGPT, ini membawa tantangan baru bagi SEO karena perilaku pengguna dalam mencari informasi berubah. Kehadiran SearchLab oleh Google misalnya, menjadi salah satu cara perusahaan teknologi menghadapi kompetisi AI dalam pencarian informasi.
Media kini harus menghadapi tantangan baru: bagaimana tetap relevan ketika AI bisa menghasilkan informasi secara instan dan tanpa batasan waktu. Dengan perubahan perilaku pengguna yang lebih bergantung pada AI untuk mencari berita, SEO mungkin tak lagi efektif dalam beberapa waktu mendatang, menambah tekanan pada industri yang sudah terhantam disrupsi digital.
Portal Berita AI: Inovasi atau Ancaman?
Sebagai contoh, portal berita lokal di AS bernama okaynwa.com dijalankan sepenuhnya dengan AI. Tanpa reporter manusia, portal ini menggunakan AI untuk memproduksi berita dalam berbagai topik, dari hiburan hingga teknologi. Setiap berita dan gambar ilustrasi dihasilkan oleh AI, bahkan karakter “reporter” disesuaikan agar sesuai dengan setiap jenis berita. Meskipun situs ini dikatakan hanya sebagai proyek sampingan, ini menunjukkan potensi AI dalam menghadirkan reporter digital yang seolah-olah memiliki karakter unik. Tak heran jika dalam beberapa tahun mendatang, inovasi seperti ini bisa menjadi tren di dunia jurnalisme.
Implementasi AI dalam bentuk seperti ini memberikan wawasan baru. Jika AI dapat menggantikan reporter manusia dalam hal pengumpulan informasi, lalu bagaimana nasib profesi jurnalis? Tentu, meskipun AI dapat menggantikan proses teknis, sentuhan manusia dan analisis kritis tetap menjadi elemen esensial dalam jurnalisme berkualitas.
Regulasi dan Etika: Menavigasi Jalan Baru
Di tengah gelombang teknologi, Dewan Pers Indonesia mengakui bahwa dunia pers sedang menghadapi tantangan berat, terlebih dengan ketergantungan pada platform digital global. Sebagai respons, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 32 tahun 2024, yang mengatur tanggung jawab platform digital untuk mendukung jurnalisme berkualitas. Meskipun aturan ini diharapkan membawa angin segar bagi industri pers, masih ada tantangan untuk meyakinkan platform digital global agar mendukung regulasi ini.
Dampak dari implementasi AI dalam jurnalisme tidak dapat diabaikan. Dalam jangka panjang, AI mungkin dapat menggantikan beberapa aspek teknis dalam jurnalisme. Namun, teknologi ini juga menantang integritas jurnalistik dan menimbulkan pertanyaan tentang keadilan dalam distribusi informasi. Sebagai contoh, bagaimana hak cipta informasi yang digunakan sebagai data pelatihan untuk AI? Pertanyaan ini menjadi topik hangat, terutama ketika informasi dari media menjadi dasar pelatihan bagi LLM (large language models) yang mendukung AI generatif.
Merangkul atau Menolak?
AI dalam jurnalisme adalah fenomena yang tak terhindarkan. Ketika teknologi semakin maju, kehadiran AI menawarkan potensi besar untuk efisiensi dan kreativitas, namun juga ancaman bagi kelangsungan profesi jurnalis. Mengabaikan AI mungkin bukan langkah yang bijak, mengingat disrupsi teknologi seperti ini bisa terjadi kapan saja, tanpa batas geografis atau nilai. Belajar dari contoh industri yang sebelumnya terlindas oleh disrupsi, seperti Yahoo atau Kodak, jurnalisme perlu bersiap untuk beradaptasi.
Bagaimana media dan jurnalis dapat tetap relevan dan mempertahankan integritas jurnalistik di era digital yang dipenuhi AI? Jawabannya mungkin terletak pada upaya berkelanjutan untuk menggabungkan keahlian manusia dan teknologi dengan cara yang etis dan bertanggung jawab, sehingga AI tidak hanya menjadi alat, tetapi juga pendorong bagi kualitas informasi yang disajikan. (KT33/Feiza)