Oleh: Sufi Saniatul Mabruroh
Alif adalah personifikasi ketidaksabaran. Hidupnya seperti balapan tanpa garis finis, selalu terburu-buru, selalu mendahului. Antrean di minimarket adalah siksaan, lampu lalu lintas adalah musuh bebuyutan, dan bahkan menunggu air mendidih untuk kopi pun terasa seperti keabadian. Baginya, waktu adalah komoditas langka yang harus dihemat setiap detiknya.
Suatu malam yang mendung, Alif mengendarai mobilnya dengan kecepatan yang tak pantas. Pikirannya dipenuhi daftar pekerjaan yang harus segera diselesaikan, seolah-olah dunia akan runtuh jika ia menunda sedetik saja. Di persimpangan jalan, lampu lalu lintas memancarkan warna merah. Alif mengerutkan kening. Menanti nanti warna berubah hijau. sesaat kemudian lampu kuning menyala menandakan beberapa detik lagi akan hijau. Namun, itu waktu yang terlalu lama baginya untuk menunggu. Dengan keyakinan mutlak bahwa lampu lalulintas disisi lain telah merah, ia langsung menginjak pedal gas dalam-dalam.
Namun, dunia tidak selalu berpihak pada mereka yang terburu-buru. Sebuah truk besar melaju dari arah berlawanan, juga dengan kecepatan tinggi. Alif melihat kilatan cahaya, mendengar derit ban yang memekakkan telinga, dan merasakan benturan keras yang meremukkan. Dunia seolah berhenti, lalu berputar tak karuan.
Ketika kesadarannya kembali, ia merasakan nyeri yang luar biasa di kaki kirinya. Pandangannya kabur, tapi ia bisa melihat puing-puing mobilnya yang hancur dan orang-orang berkerumun di sekelilingnya. Ambulans datang, sirenenya melengking memecah keheningan yang tersisa.
Berhari-hari kemudian, Alif terbangun di ranjang rumah sakit. Dokter memberinya kabar yang mengubah segalanya yakni kaki kirinya harus diamputasi. Kecelakaan itu, hasil dari keputusan sepersekian detik untuk tidak bersabar, telah merenggut salah satu bagian terpenting dari dirinya.
Awalnya, kemarahan dan penyesalan membanjiri Alif. Bagaimana ia bisa begitu bodoh? Mengapa ia tidak bisa menunggu hanya beberapa detik saja? Namun, seiring waktu, kemarahan itu perlahan luntur, digantikan oleh pemahaman yang pahit. Hidup yang selalu ia kejar-kejar telah menuntut harga yang sangat mahal. Kaki yang hilang adalah pengingat konstan bahwa kesabaran bukanlah kelemahan, melainkan sebuah kekuatan. Ia telah belajar pelajaran terberat dalam hidupnya, bahwa terkadang hal terbaik yang bisa dilakukan adalah hanya menunggu.