Aroma Tanah Temanggung

Oleh: Audia Widyaningrum

Matahari baru saja naik sepenggalah ketika Pak Wiryo sudah berada di tengah kebun tembakaunya. Udara pagi Temanggung masih dingin menusuk, namun aroma tanah basah dan daun-daun tembakau muda yang khas sudah memenuhi indra penciumannya. Di usianya yang menginjak enam puluh lima, punggung Pak Wiryo sudah agak bungkuk, tapi gerakannya masih cekatan saat memeriksa setiap helai daun yang tumbuh subur.

Bukan sekadar tanaman, bagi Pak Wiryo, tembakau adalah nafas. Sejak kakeknya, lalu ayahnya, kini giliran ia yang meneruskan warisan berabad-abad ini. Setiap siklus tanam, dari menabur bibit mungil di bedengan, memindahkan ke ladang, hingga memanen daun demi daun, adalah ritual yang penuh makna. Ia ingat betul bagaimana dulu, saat masih bujang, ia diajari cara memilih daun yang “masak”, yang warnanya sudah mulai menguning sempurna, siap dipetik. “Jangan terburu-buru, Le,” pesan ayahnya kala itu, “Tembakau itu seperti anak gadis, harus dipelihara dengan sabar dan telaten.”

Musim panen adalah puncaknya. Seluruh keluarga turun tangan. Istri dan anak-anak perempuannya sibuk memilah daun, sementara anak-anak lelakinya membantu mengangkut ke rajangan, tempat daun-daun itu akan diiris tipis-tipis. Suara mesin rajangan yang bergemuruh di pagi hari adalah melodi yang akrab, pertanda roda ekonomi desa mulai berputar.

Setelah dirajang, tembakau-tembakau itu dijemur di para-para bambu, di bawah terik matahari Temanggung yang menyengat. Aroma khasnya menguar, memenuhi setiap sudut desa. Pak Wiryo sering duduk di bawah para-para, memandangi hamparan rajangan tembakau yang mengering. Baginya, itu bukan hanya pemandangan, tapi juga harapan. Harapan akan harga jual yang baik, agar dapur tetap mengepul, agar anak-anaknya bisa sekolah, dan cucu-cucunya kelak punya masa depan yang lebih baik.

Tentu, tidak selalu mudah. Pernah ada masa ketika hama menyerang, atau hujan turun tak henti-hentinya di musim kemarau, merusak panen. Pak Wiryo ingat betul bagaimana ia dan tetangga-tetangganya hanya bisa pasrah, memandang ladang mereka yang rusak dengan hati perih. Tapi mereka tidak menyerah. Musim berikutnya, mereka akan kembali menanam, dengan keyakinan yang sama.

Kini, Pak Wiryo tersenyum tipis. Ia mengusap sehelai daun tembakau yang masih hijau, merasakan teksturnya yang lembut. Ia tahu, di balik setiap helai daun ini, ada keringat, ada doa, ada warisan, dan ada aroma tanah Temanggung yang tak akan pernah pudar.

Exit mobile version