Beranda Impian

Oleh Riska Meliyana

 

Kicauan burung sayup-sayup terdengar oleh gadis yang tengah merebahkan tubuhnya pada sebuah bangku panjang di halaman belakang rumah neneknya itu. Perlahan ia membuka mata dan menyambut sinar mentari cantik yang samar-samar menyusup dari balik dedaunan yang lentik itu. Gema bangun dari rebahnya, meleguhkan tubuhnya sambil menyapu daun-daun yang gugur di atas tubuhnya. Ia menatap sekeliling, dan mendapati hamparan rumput hijau yang tak pernah membuatnya pangling. Gema tersenyum simpul mengingat dunia yang ia jalani kemarin dan hari ini begitu berbeda.

 

Gema menarik ingatannya ke belakang. Beberapa bulan yang lalu, Gema disibukkan oleh segala rutinitasnya sebagai seorang mahasiswa. Pagi hingga sore hari ia mendedikasikan dirinya di bangku perkuliahan, malamnya ia bekerja, dan weekend ia tetap disibukkan dengan tugas-tugasnya dan kegiatan komunitas yang ia ikuti. Tidak ada waktu untuk istirahat kecuali tidur di atas pukul dua belas malam dan bangun pukul lima pagi. Bagi Gema, waktu terlalu berharga untuk dilewatkan begitu saja. Dunia juga tidak pernah sudi menunggu, meskipun hanya untuk mengikat tali sepatu buluk miliknya. Itu semua karena tuntutan, harapan, dan ekspektasi berlebihan yang dilimpahkan dari keluarga tanpa mau mengarahkan. Entah suka atau tidak, kini Gema sudah terbiasa dengan rutinitas itu. Mampu atau tidak, Gema harus berusaha keras untuk nilainya, keuangannya, dan masa depannya yang ‘diimpikan’ banyak orang. Walaupun semua proses terlihat mudah, dan segala perjuangannya terlihat terarah, percayalah bahwa semua itu tidak pernah luput dari kecemasannya. Memilikul harapan banyak orang itu tidaklah mudah.

 

Seperti kala itu, Gema segera berlari menuju gazebo kampus sambil membuka laptopnya saat teman sekelasnya memberi tahu bahwa nilai ujian akhir semester telah keluar. Beberapa saat setelahnya, Gema menatap nanar layar persegi itu kelu, “Habislah aku,” batinnya. Ia membuka ponselnya yang bergetar di saku celana, dan ditatapnya notifikasi dari kakanya yang terpampang jelas di baris pertama, “Gimana nilainya?”. Dengan wajah lesu, Gema memotret layar laptopnya dan mengirimkan hasil belajarnya selama satu semester itu ragu-ragu.

 

Dua hari setelah mendapatkan rekap nilainya, Gema pulang dari perantauan. Sesampainya di rumah, Gema di sambut dengan kehangatan keluarganya, ia tersenyum lega mengingat apa yang ia sebut ‘beban satu semester’ itu terlewati. Saat itu, Gema kira rasa leganya akan bertahan sedikit lebih lama, sebelum setelahnya yang ia dengar adalah nada ketidakpuasan dari kakaknya yang memberinya evaluasi berlebihan tanpa ia diberi ruang untuk menjelaskan.

“Kenapa nilainya bisa merosot banget gitu, Dek?” Tanyanya dengan nada tak suka.

“Semester ini lumayan berat, aku banyak kegiatan di luar kampus juga.” Jawab Gema seadanya.

Kakaknya menatap Gema tak suka, “Alah, makanya kalau kuliah itu ya kuliah, jangan kebanyakan jalan-jalan.”

Gema mengerutkan keningnya, merasa bahwa kalimat itu seharusnya tidak ditujukan kepada dirinya. Dengan rutinitas sepadat itu, ia bahkan tidak punya waktu untuk mengeluh, apalagi jalan-jalan menghabisakan uang yang ia cari setiap malam degan mengorbankan waktu tidurnya.

“Ya besok diperbaiki, kemarin udah bagus masa sekarang begitu.” Ibunya menimpali, menambah rasa kecewa Gema yang repetitif, tapi tidak pernah membuatnya terbiasa.

 

Mendengar kalimat-kalimat itu, Gema teringat pembicaraannya dengan sahabatnya, Tesa, sehari sebelum ia pulang. Saat itu, selesai perkuliahan mereka menunggu hujan reda dengan berteduh di salah satu gazebo kampus.

“Kamu murung terus dari tadi, kenapa?” Tanya Tesa.

“Hah, sedih aku cuy.” Jawab Gema jengah.

“Ya tau, sedihnya kenapa?” Tesa menatap wajah Gema lekat, seakan tengah menebak-nebak masalah apa lagi yang tengah dihadapi sahabatnya itu.

“Kenapa ya Sa, mau gimanapun usahaku, mau sebagus apapun prestasiku itu ga pernah cukup di mata keluargaku? Kadang tuh aku capek harus ngejar ekspektasi mereka.”Gema berulang kali menghembuskan nafas gelisah saat mengeluarkan isi hatinya.

“Ga usah di kejar, Gem, biar mereka kejer ekspektasi mereka sendiri, kamu ngejar waras aja. Aku aja yang lihat kamu bangga kok, aku yang lihat gimana kamu berjuang di sini.” Ujar Tesa kesal sekaligus kasihan melihat sahabatnya itu.

Apa yang dikatakan Tesa itu benar, Gema juga berpikir demikian. Tapi, apa yang ada dipikrannya itu bertolak belakang dengan apa yang ia lakukan selama ini.

“Aku penasaran gimana rasanya jadi mereka yang dapat dukungan dari banyak orang, dari keluarganya terutama. Gimana leganya mereka yang keluarganya selalu merasa cukup,” Gema berujar resah. .

“Ibuku juga gitu, Gem. Sekecil apapun yang aku beri, sesederhana apapun karya yang aku hasilkan, Ibuku selalu bilang itu cukup, beliau selalu bangga, dan itu membuatku merasa aman,”

Mendengar kalimat yang diucapkan Tesa, Gema tersenyum kelu hingga kalimat selanjutnya yang sahabatnya itu katakan tidak lagi terdengar. Entah kenapa pikirannya dipenuhi rasa iri dan kekesalan.

 

Mengingat percakapannya dengan sahabatnya kala itu, entah mengapa menyulut keberanian Gema untuk menata bajunya dari lemari, memakai helm, dan mulai menyalakan motor matic-nya untuk segera ia kendarai menuju rumah neneknya, tidak peduli dengan teriakan kakak dan ibunya di ambang pintu.

 

Beberapa hari di rumah sang nenek, Gema habiskan untuk berpikir dan menenangkan diri. Kegiatannya hanya tidur, makan, dan sesekali membantu sang nenek. Dua hari itu juga perkataan sahabatnya, kalimat yang dilontarkan kakak dan ibunya menggenang di kepala. Gema yang tadinya menyalahkan mereka mulai membenahi pola pikir dan sudut pandangnya, karena barangkali pikirannya ikut andil dalam menuntut dirinya. Butuh waktu lama bagi Gema untuk menyadari bahwa dirinya yang paling memahami dirinya sendiri, dan dirinya juga yang memiliki kontrol penuh atas dirinya sendiri. Jadi, jika ia merasa dituntut oleh impian mereka, siapa yang bisa disalahnya jika ia memilih mengusahakan tanpa ada penolakan?

 

Gema menyadari bahwa penting juga baginya untuk memahami bahwa setiap orang memiliki cara masing-masing untuk menjadikan orang terkasihnya berhasil. Setiap Ibu, setiap kakak, setiap keluarga memiliki celah, kekurangan, dan ketidaksempurnaan dalam membimbing dan mengarahkan. Kemudian, hal yang paling vital adalah diri sendiri. Tidak semua arahan harus ditelan mentah-mentah, dan tidak semua kritikan perlu dibuat gelisah. Lakukan saja apa yang ingin kamu lakukan, bukan yang orang lain harapkan. Karena kamu akan mendapati banyak hal di beranda mimpi-mimpimu, pastikan saja itu tidak membuatmu ragu.

Exit mobile version