CerpenSastra

Bintang-Bintang di Mata Nia

Oleh: Audia Widyaningrum

Nia, seorang gadis kecil kelas empat SD, memiliki mata yang selalu berbinar-binar seperti bintang-bintang di langit malam Temanggung. Namun, bintang-bintang di matanya kali ini bersinar lebih terang dari biasanya. Penyebabnya adalah sebuah poster besar di dinding kelasnya yang menampilkan seorang wanita berjas putih dengan stetoskop tergantung di lehernya. Dokter. Itulah impian Nia.

Bukan tanpa alasan Nia begitu terpesona dengan profesi mulia itu. Ia ingat betul bagaimana ibunya terbaring lemah saat demam tinggi beberapa waktu lalu. Kecemasan melanda hatinya yang kecil. Namun, kehadiran seorang dokter yang ramah dan penuh perhatian mampu menenangkan ibunya dan juga dirinya. Sejak saat itu, Nia bertekad, suatu hari ia juga ingin menjadi seperti malaikat penolong itu.

Artikel Terkait

Setiap malam, sebelum tidur, Nia akan membuka buku-buku pelajaran sainsnya. Ia tidak hanya menghafal nama-nama organ tubuh atau siklus air, tetapi juga membayangkan dirinya sedang memeriksa pasien, mendengarkan detak jantung mereka dengan stetoskopnya, dan memberikan senyuman yang menenangkan. Kamar tidurnya yang sederhana ia sulap menjadi ruang praktik dokter pribadinya. Boneka beruangnya menjadi pasien setia, dan pensil warnanya ia gunakan sebagai alat suntik mainan.

Di sekolah, Nia dikenal sebagai anak yang rajin dan selalu bertanya. Setiap pelajaran yang berkaitan dengan kesehatan atau biologi, ia akan menyimaknya dengan saksama. Teman-temannya mungkin lebih tertarik dengan cerita tentang pahlawan super atau putri-putri di negeri dongeng, tetapi bagi Nia, kisah tentang penemuan vaksin atau cara kerja tubuh manusia jauh lebih menarik.

Namun, impian Nia tidak selalu berjalan mulus. Ayahnya hanyalah seorang petani dengan penghasilan pas-pasan. Nia tahu, untuk menjadi seorang dokter, dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Kadang, keraguan menghampirinya. Mungkinkah impiannya itu hanya akan menjadi angan-angan belaka?

Suatu hari, sekolah Nia mengadakan acara “Cita-Citaku”. Setiap siswa diminta untuk mengenakan pakaian yang melambangkan profesi impian mereka. Nia dengan bangga mengenakan kemeja putih kebesaran milik ayahnya dan membuat stetoskop sederhana dari selang air dan tutup panci. Penampilannya sederhana, namun matanya memancarkan keyakinan yang kuat.

Saat gilirannya tiba untuk bercerita tentang cita-citanya, Nia berdiri tegak di depan kelas. Dengan suara lantang, ia menceritakan kekagumannya pada dokter, pengalamannya saat ibunya sakit, dan tekadnya untuk bisa membantu orang lain melalui dunia medis.

Setelah Nia selesai berbicara, Bu Rina, guru kelasnya, tersenyum haru. Beliau menghampiri Nia dan berbisik, “Nia, impian yang tulus akan selalu menemukan jalannya. Teruslah belajar dengan giat dan jangan pernah menyerah.”

Kata-kata Bu Rina bagaikan oase di tengah gurun keraguan Nia. Ia kembali bersemangat. Ia tahu, jalan menuju impiannya mungkin panjang dan penuh tantangan, tetapi dengan belajar sungguh-sungguh dan tidak pernah putus asa, bintang-bintang di matanya akan terus bersinar, menuntunnya menjadi dokter yang hebat suatu hari nanti. Impian itu kini bukan lagi sekadar angan-angan, tetapi sebuah tujuan yang akan ia perjuangkan sekuat tenaga, seperti bintang yang tak pernah lelah memancarkan cahayanya di gelapnya malam.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga
Close
Back to top button