
Oleh : Faizal Adyanto
Di tengah derasnya arus globalisasi dan kemajuan teknologi, budaya lokal di berbagai daerah mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Temanggung pun tidak lepas dari fenomena ini. Generasi muda kita kini lebih mengenal budaya populer luar negeri dibanding kesenian khas seperti kuda lumping, tembang Jawa, atau bahkan bahasa Temanggungan yang dulu begitu akrab di telinga.
Pertanyaannya, masih perlukah budaya lokal ini dilestarikan?
Jawabannya: justru sekarang saat yang paling penting.
Temanggung bukan hanya tentang tembakau dan alamnya yang indah, tetapi juga tentang nilai-nilai yang hidup dalam tradisi dan seni masyarakatnya. Wayang kulit di desa-desa, upacara wiwitan di lereng Sindoro-Sumbing, hingga tembang-tembang Jawa yang dinyanyikan oleh para sesepuh—semuanya adalah bentuk kearifan lokal yang menyimpan filosofi kehidupan.
Sayangnya, budaya itu kini seperti tamu di rumahnya sendiri. Acara budaya makin jarang digelar, peminat seni tradisi terus menyusut, dan bahasa daerah kian jarang digunakan oleh anak-anak muda. Yang lebih memprihatinkan, sebagian dari kita mulai merasa malu menggunakan identitas budaya lokal, seolah itu tidak lagi modern.
Namun sebetulnya, melestarikan budaya tidak berarti menolak kemajuan. Kita justru bisa menjadikan teknologi sebagai jembatan pelestarian. Remaja Temanggung bisa menciptakan konten digital—video, podcast, atau bahkan komik—yang mengangkat kisah lokal. Media sosial bisa menjadi panggung bagi budaya, bukan malah kuburannya.
Pemerintah daerah, sekolah, komunitas seni, dan media lokal seperti Kabar Temanggung punya peran besar dalam membangun kebanggaan ini. Jika kita tidak bergerak sekarang, bisa jadi 20 tahun ke depan budaya Temanggung hanya tinggal arsip di perpustakaan.
Budaya lokal adalah identitas. Ia adalah akar dari pohon yang kita sebut masyarakat. Dan kita, sebagai generasi penerus, punya tanggung jawab untuk memastikan akar itu tetap kuat, tidak lapuk digerus zaman.