Cermin Di Dinding Kamar

Oleh : Deby Arum Sari

Tania memandangi dirinya di cermin, diam. Sudah setengah jam ia berdiri di sana, mencoba “menyukai” apa yang ia lihat. Rambut ikalnya yang mengembang, pipi bulatnya, warna kulitnya yang tidak seputih teman-temannya—semuanya seperti daftar hal yang membuatnya ingin menjadi orang lain.

“Aku capek harus pura-pura pede,” gumamnya.

Di sekolah, Tania dikenal sebagai si lucu. Banyak yang suka padanya karena ceplas-ceplosnya. Tapi tak banyak yang tahu bahwa setiap malam, ia menatap cermin sambil membandingkan dirinya dengan gadis-gadis TikTok. “Cantik itu langsing, putih, rambut lurus,” pikirnya. Ia bahkan pernah menyimpan foto editan wajahnya sendiri—versi ‘lebih cantik’ menurut media sosial.

Sampai suatu hari, ia membaca tulisan di dinding kamar kakaknya:
“Kita nggak harus cantik untuk berharga. Tapi kita harus merasa berharga untuk bisa melihat kecantikan diri.”

Tania sempat diam. Kata-kata itu menghantamnya pelan tapi dalam. Ia duduk di lantai, lalu menangis. Bukan karena sedih, tapi karena untuk pertama kalinya, ia sadar—selama ini ia kejam pada dirinya sendiri.

Hari-hari berikutnya, Tania tidak berubah drastis. Ia masih memakai hoodie favoritnya, masih tertawa keras, dan masih menyisir rambut ikalnya seadanya. Tapi kini, saat ia bercermin, ia tidak lagi mencari kekurangan. Ia mulai berkata, “Kamu cukup. Kamu pantas dicintai, dimulai dari aku sendiri.”

Dan sejak saat itu, cermin di dinding kamar Tania tak lagi jadi musuh. Tapi sahabat.

Exit mobile version