CerpenSastra

Cerminan Naluna

Oleh: Riska Meliyana

Bersamaan dengan puncak malam tahun baru, saat langit dipenuhi kembang api warna warni, dan bumi dibasahi air hujan yang enggan untuk berhenti, di sebuah kota kecil lahir anak kembar yang tidak di inginkan. Seorang wanita bernana Naluna melahirkan seorang diri di sebuah kamar mandi bar kecil di pinggir kota, sedangkan ayahnya bahkan tidak pernah mengetahui keberadaannya saat di dalam rahim ibunya. Malang nasib kedua bayi itu, di saat begitu banyak orang merayakan kebahagiaan, kehadirannya di dunia justru menjadi kesedihan bagi ibunya. Dengan langkah tertatih karena menahan sakitnya, Naluna bergegas pergi dengan dua kardus besar yang sudah ia siapkan. Ia berhenti di sebuah panti asuhan dan meletakkan dua kardus itu dengan ragu dan penuh pilu. Di berinya kalung berukiran nama pada kedua bayinya, Kaluna dan Raluna.

18 tahun kemudian, di salah satu sekolah menengah atas di ibu kota, dua remaja membeku menatap satu sama lain. Mereka merasa heran dengan setiap detail wajah mereka yang persis sama. Satu di antaranya turun dari mobil mewah dan memakai seragam dengan balutan jaket mahal dan bermerek, sedangkan yang satu tengah menuntun sepada tuanya dengan memakai seragam lusuh yang tidak di setrika. Bukan hanya mereka, orang-orang di sekitar mereka juga menatap heran dua orang dengan wajah sama persis, tapi dengan gaya yang begitu berbeda, bak langit dan bumi.

Artikel Terkait

“Wait.. gue berasa lagi ngaca. Ini muka kita benaran sama?” Ujar gadis dengan name tag bertuliskan ‘Kaluna’ itu.
Sedangkan gadis yang satu tidak menjawab apapun, ia hanya mengedipkan mata untuk mengembalikan fokusnya, berdecak, kemudian berlalu pergi.
“Heh, tungguin! Ini ajaib ngga, sih? Kenalan dulu, namaku Kaluna, nama kamu siapa?” Gadis dengan tingkah yang lebih percaya diri itu tak menyerah dan terus mengejar orang yang membuatnya penasaran itu.
“Kok diem aja, sih? Coba gue lihat name tag-nya, ini ajaib, gue panasar-“
“Raluna, namaku Raluna. Puas?” Potong gadis berwajah jutek itu dengan nada kesal yang membuat Kaluna mengernyit heran.
Setelah mengatakan namanya, Raluna melenggang pergi meninggalkan Kaluna seorang diri dengan kebingunangan yang ada di kepalanya.

Di sisi lain, Raluna melangkahkan kakinya menuju toilet setelah memarkirkan sepeda tuanya. Ia mengeluarkan air matanya dan menangis sejadi-jadinya. Ia tidak pernah menyangka bahwa akan bertemu dengan kembaran yang tidak mengenalinya di hari pertama sekolahnya. Raluna menatap dirinya di pantulan cermin. Wajah lusuh, rambut kuncir seadanya, baju kebesaran yang tidak di setrika.
“Ternyata benar, muka kita emang persis sama, tapi nasib kita engga.” Gumam-nya yang tanpa ia sadari terdengar oleh Kaluna yang berada di balik salah satu bilik toilet.

~
Sebulan berlalu semenjak kedua anak kembar itu menjalani hari-harinya sebagai siswa SMA, dan sebulan juga lamanya Raluna menjadi korban pembulian di sekolahnya. Seperti saat ini, sejak bel istirahat berbunyi, Raluna digiring menuju toilet siswa. Di sana ia mengalami begitu banyak kekerasan verbal maupun fisik, mulai dari ejekan, dijadikan pesuruh, hingga di siram air.
“Gue kasian deh sama lu, Raluna. Muka lu aja yang persis sama Kaluna, tapi kalian tuh kayak langit sama bumi, kayak permata sama batu di kali. Gue yakin nih, kalian tuh kembar, kan? Terus lu yang dibuang gitu, kan?” ejekan salah satu pembuli bernama Jira itu membuat Raluna mengertakkan giginya marah.
“Gue kalo jadi lu sih udah bunuh diri sejak liat kembaran lu hidup enak. Lagian ya Ra-“
Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, tamparan dari tangan Kaluna yang menerobos masuk kamar mandi itu mendarat di pipi Jira. Tidak sampai di situ, Kaluna juga mengguyur Jira dengan seember air.
“Siapa lu, berani-beraninya buli adik gue, hah? Selama ini gue coba diem, tapi kali ini lu keterlaluan, Jir.” Ujar Kaluna dengan pipi memerah menahan amarah.
Jira yang mendengar itu hanya menyeringai kesal, “Munafik lu, Kal! Kenapa baru sekarang lu negur gue, hah? Kemana aja lu kemarin-kemarin? Dan lu bilang dia adik lu? Lu bilang gitu cuma buat nunjukkin seberapa bedanya nasib kalian, kan? Seberapa menderitanya Raluna, dan seberuntung apa diri lu.” Melihat wajah Kaluna yang merah padam dan tidak bisa berkata-kata lagi, Jira tersenyum senang. Sesaat setelah itu juga, Raluna pergi dan keluar dari toilet yang sudah dikerumuni banyak orang.

~
“Raluna, tungguin aku, kamu harus ke UKS Ra,” Ujar Kaluna yang mencoba mengejar Raluna yang terus melangkah keluar gerbang sekolah setelah mengambil tasnya di kelas.
“Ga usah sok peduli! Gue nggak butuh lu kasihani, dan gue bukan adik dari siapapun.” Ujar Raluna sarkas tanpa menatap wajah Kaluna.
“Engga, kamu itu adikku. Aku udah tanya mama, papa, dan kamu emang kembaran aku, Ral. Selama ini aku cuma tau kalau aku anak angkat, tapi aku nggak tau kalau punya kembaran. Aku tau kamu marah sama aku..”
“Engga, gue ngga marah sama lu, Kal.” Raluna menghentikan langkahnya di tepi jalan sebelum menyebrang. Ia menoleh kebelakang dan menatap Kaluna sedih.
“Gue ngga marah sama lu, tapi gue marah ke diri gue sendiri. Sejak hari pertama kita ketemu, yang ada dipikiran gue cuma lu. Ibu di panti asuhan gue bilang kalau gue ini kembar, dan gue berharap suatu saat kita bisa ketemu. Gue ngebayangin gimana senengnya kalau kita ketemu, gue ngebayangi kita bakal jadi teman cerita, teman berbagi, dan apapun itu. Tapi ternyata itu cuma sampah yang ada di kepala gue, Kal. Yang terjadi adalah gue iri lihat hidup lu yang serba terpenuhi, gue iri lihat penampilan lu, gue iri lu dikelilingi orang-orang yang mendukung lu. Sementara gue, bahkan untuk makan nanti siang aja gue harus kerja dulu, gue harus cari cara buat bantu biaya sekolah adik-adik gue di panti.” Raluna menghentikan kalimatnya karena merasa sesak, ia menghapus air matanya dan kembali manatap Kaluna.
“Dan lagi, lu yang selama ini diem lihat gue di buli buat gue ngerasa kecewa banget, Kal. Saat lihat lu, gue ngerasa punya sandaran, tapi ternyata gue tetep aja sendiri sama kayak sebelum ketemu, lu.” Lanjut Raluna kecewa.
Tanpa mereka sadari, air mata keduanya mengalir membanjiri pipi. Kaluna dan Raluna sibuk dengan pikiran masing-masing. Kaluna yang merasa bersalah, dan Raluna yang merasa sesak dan Kecewa.
“Tapi aku diem selama ini karena kamu nggak pernah mau ngomong sama aku, Ral. Aku takut kalau aku belain kamu, kamu bakal ngerasa risih dan semakin menjauh. Aku juga takut hal kayak gini terjadi, Ral, karena omongan Jira-“
“Omongan Jira ngga sepenuhnya salah, Kal. Jadi, gue harap ini terakhir kalinya buat kita untuk berdebat. Sama seperti sebelum kita kenal, gue harap kita ngga saling terlibat dalam hal apapun.” Raluna mengatakan kalimat yang membuat hati Kaluna berdesir kecewa.
Kaluna tertunduk mengusap air matanya. Seletah itu ia menggengam tangan Raluna dan berkata, “Kalau itu yang buat kamu bahagia aku bakal ikutin mau kamu, Ral. Tapi janji sama aku kalau suatu saat kita bakal sama-sama tanpa harus berusaha. Di pertemuan tanpa disengaja kita yang selanjutnya, kita akan jadi sahabat, bahkan saudara, ya?”
Raluna yang mendengar itu hanya bisa mengangguk, mengusap air matanya, melepaskan tanggannya dari genggaman Kaluna, dan pergi dari sana meninggalkan Kaluna yang terduduk lesu, dan menangis tersendu-sendu.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga
Close
Back to top button