
Oleh : Masrurotul Fuadah
Di tengah kota yang ramai, ada seorang perempuan bernama Aulia yang setiap hari melewati jalan yang sama. Ia bekerja di sebuah kafe kecil yang terletak di ujung jalan. Kafe itu sederhana, dengan dekorasi yang hangat dan aroma kopi yang selalu memenuhi udara. Aulia, dengan rambut panjangnya yang selalu dikuncir rapi, adalah sosok yang ceria meski hatinya tak selalu secerah senyumannya.
Hari itu, seperti biasa, Aulia sedang menyajikan kopi untuk seorang pelanggan tetapnya, Dimas. Dimas adalah pria yang hampir setiap hari datang ke kafe tersebut, duduk di sudut yang sama, membaca buku dengan khusyuk. Meskipun mereka tidak pernah berbicara lebih dari sekadar percakapan singkat tentang pesanan, Aulia sudah merasa ada sesuatu yang berbeda dari Dimas—sesuatu yang membuat hatinya sering berdebar-debar tanpa alasan.
Suatu sore yang mendung, hujan mulai turun dengan derasnya. Aulia melihat Dimas tetap duduk di tempatnya, memandangi jendela yang tertutup kabut. Seperti biasa, Aulia membawakan secangkir kopi untuknya, lalu dengan hati-hati berkata, “Hujannya cukup deras hari ini, ya?”
Dimas tersenyum, matanya memandang Aulia dengan penuh kehangatan. “Iya,” jawabnya lembut. “Tapi hujan selalu membuatku merasa tenang.”
Aulia terdiam sejenak. Ia merasa ada kehangatan dalam setiap kata yang diucapkan Dimas. “Aku suka hujan, tapi seringkali aku merasa kesepian saat hujan turun. Hujan itu seperti mengingatkanku pada sesuatu yang hilang,” kata Aulia, jujur.
Dimas menutup bukunya perlahan dan menatap Aulia lebih dalam. “Kadang, kita memang perlu merasakan kesepian untuk bisa menghargai kebersamaan, Aulia,” jawab Dimas dengan suara yang penuh arti. “Mungkin kamu belum menemukan orang yang tepat untuk berbagi hujan ini.”
Kata-kata Dimas seperti sebuah sinar yang masuk ke dalam hatinya, menerobos kegelapan yang selama ini ia rasakan. Aulia merasa dunia seakan berhenti sejenak. Ia menundukkan kepala, mencoba menyembunyikan rasa haru yang tiba-tiba muncul.
Sejak saat itu, hujan bukan lagi sesuatu yang mengingatkan Aulia pada kesepian. Setiap kali hujan turun, ia merasa lebih dekat dengan Dimas. Mereka mulai berbicara lebih banyak, berbagi cerita tentang kehidupan, mimpi, dan segala hal yang mereka rasakan. Hujan menjadi simbol dari awal yang baru, dari sebuah pertemuan yang tak pernah ia duga sebelumnya.
Pada suatu sore yang sama, Dimas datang dengan membawa sekuntum bunga mawar merah. Ia menyerahkannya pada Aulia dengan senyum yang tak pernah ia lihat sebelumnya. “Untuk kamu, Aulia,” katanya, “karena hujan bukan hanya tentang kesepian. Hujan juga tentang kemungkinan untuk menemukan sesuatu yang indah.”
Aulia memandang bunga itu dengan penuh haru. Ia tahu, saat itu, hatinya sudah menemukan jawabannya. Cinta, seperti hujan, datang dengan caranya yang tak terduga. Dan mungkin, ia sudah menemukan seseorang yang bisa menemani setiap tetes hujan yang turun dalam hidupnya.