
Oleh: Deby Arum Sari
Malam jatuh pelan di atas kota yang tak pernah benar-benar tidur. Lampu-lampu jalan menyala, berkerlip seperti bintang yang tumpah ke bumi. Dari jendela kamar kos yang sempit, Laila menatap langit malam sambil menggenggam ponsel yang belum juga berbunyi. Sudah tiga hari ibunya tidak mengirim kabar. Biasanya, pesan “Sudah makan, Nak?” selalu datang pagi dan malam.
Laila menarik napas panjang. Bau mie instan yang masih tersisa di udara membuatnya mual. Ia sudah hampir sebulan makan itu terus. Bukan karena tidak ada uang, tapi karena itu yang paling mudah dan paling murah.
Kos ini hanya berukuran 3×3 meter. Cukup untuk tempat tidur kecil, meja lipat, dan gantungan baju yang nyaris roboh. Di sudut, ada rak buku berisi diktat kuliah yang belum sempat ia buka. Hari-harinya habis di kelas, perpustakaan, lalu kembali ke sini, kamar sempit yang kadang lebih terasa seperti penjara sunyi daripada tempat tinggal.
Laila menempuh pendidikan di kota besar, jauh dari kampung halamannya di pelosok Jawa Tengah. Ia anak pertama dari tiga bersaudara. Ayahnya seorang buruh tani, ibunya menjahit baju tetangga untuk tambahan uang saku Laila. Semua perjuangan itu kini ada di pundaknya—anak pertama yang “berhasil” kuliah.
Namun, malam-malam seperti ini, keberhasilan itu terasa begitu sepi.
Hari itu, hujan turun deras. Laila baru saja pulang dari kampus, tubuhnya kuyup meski sudah memakai jas hujan. Ia membuka pintu kos dengan tangan gemetar, mengganti baju dengan cepat, lalu duduk sambil menyalakan ponsel. Satu pesan masuk, dari adik bungsunya:
“Mbakyu, Ibu masuk angin. Tadi muntah-muntah. Tapi katanya cuma kecapekan.”
Laila membeku. Ia membalas cepat:
“Suruh Ibu istirahat. Nanti Mbak kirim uang buat beli obat.”
Ia menatap layar ponsel beberapa detik, lalu menangis dalam diam. Ingin rasanya pulang, memeluk ibunya, menyuapi bubur seperti waktu kecil saat ibunya sakit. Tapi ia tahu, ongkos pulang pergi bisa habis dua ratus ribu. Uang itu lebih baik dikirimkan.
Laila meraih dompet dan mengambil lembar-lembar uang yang ia kumpulkan dari sisa beasiswa bulan ini. Ia tidak akan jajan minggu ini. Tak apa, asal Ibu sehat.
Satu malam, ketika listrik padam, Laila duduk bersandar di dinding sambil menyalakan lilin kecil. Suara jangkrik terdengar dari luar jendela. Sunyi sekali. Ia menulis di buku hariannya : “Aku rindu rumah. Rindu suara ayam di pagi hari, rindu aroma nasi jagung buatan Ibu, rindu peluk Ayah yang jarang tapi hangat. Tapi aku juga ingin terus di sini, belajar, agar suatu hari nanti kita tidak lagi tinggal di rumah yang atapnya bocor. Aku rindu, tapi aku kuat. Untuk kalian.”
Air mata menetes ke atas kertas, memburamkan beberapa huruf. Tapi Laila tersenyum. Rindu memang berat, tapi mimpi lebih besar. Dan ia tahu, rindu bisa jadi bahan bakar jika disulam dengan doa.
Waktu berlalu. Semester berganti. Rasa sepi sudah menjadi sahabat. Setiap rindu ia ikat dalam tulisan, setiap air mata ia jadikan semangat. Laila belajar keras, ikut lomba menulis, bekerja paruh waktu di toko buku. Sedikit demi sedikit ia mengumpulkan cukup uang untuk pulang di liburan semester nanti.
Dan pada suatu pagi, di terminal kampung halamannya, Laila turun dari bus dengan koper tua di tangan. Di kejauhan, seorang ibu berlari kecil menyambut, memeluknya erat sambil menangis.
“Sudah kurus, Nak…” gumam ibunya.
Laila memeluk lebih erat. “Tapi semangatku tetap gemuk, Bu. Karena rindu ini tidak sia-sia.”