Di Balik Mata Si Belang

Oleh : Feiza Rainannisa

Mentari sore menyeruak di sela-sela dedaunan, menyisakan bias oranye yang hangat di jalan setapak menuju rumah Kayla. Gadis itu baru saja pulang dari kantornya, dengan langkah lelah dan tas penuh dokumen. Namun, senyum kecil selalu menghiasi wajahnya setiap kali ia mendekati rumah. Sebab di sana, ada Belang yang menunggu.

Belang, seekor kucing kampung berbulu hitam putih, adalah penghuni setia rumah Kayla. Dua tahun lalu, ia ditemukan di pinggir jalan dalam keadaan sekarat, tubuh kurus dan luka di kakinya. Kayla yang kebetulan lewat tak tega membiarkannya. Ia membawa Belang ke dokter hewan, merawatnya, dan akhirnya memutuskan memelihara kucing itu. Sejak hari itu, hidupnya tak pernah sama lagi.

Setiap kali Kayla pulang, Belang selalu menyambutnya di depan pintu. Ia akan mengeong kecil sambil menggesekkan tubuhnya ke kaki Kayla, seolah-olah berkata, “Selamat datang, kau aman di sini.” Kayla merasa, meski tak bisa berbicara, Belang memahami segala keluh kesahnya. Saat Kayla menangis karena pekerjaan, Belang akan duduk di sampingnya, menjilati tangannya, memberi kehangatan yang tak bisa diberikan manusia.

Namun, suatu hari, Belang menghilang. Kayla panik ketika menyadari kucing kesayangannya tak ada di rumah. Pintu pagar terbuka, mungkin karena lupa ia kunci semalam. Dengan hati gelisah, Kayla berkeliling lingkungan mencari Belang. Ia memanggil-manggil nama kucing itu, mengetuk pintu tetangga, bahkan memasang poster kecil di sekitar jalan. Tapi hingga malam tiba, Belang tak juga pulang.

Hari itu, Kayla merasa rumahnya terasa kosong. Biasanya, ada suara langkah kecil dan dengkuran lembut menemani malamnya. Sekarang, yang tersisa hanya keheningan. Meski hatinya berat, Kayla terus berharap Belang akan kembali. Setiap sore, ia duduk di teras, menatap jalanan dengan pandangan kosong, berharap melihat bayangan hitam putih kecil berlari ke arahnya.

Tiga hari kemudian, saat hujan deras mengguyur kota, Kayla mendengar suara mengeong lemah di depan rumahnya. Ia segera membuka pintu, dan di sana, berdiri Belang dengan tubuh basah kuyup dan luka kecil di telinganya. Kayla berlari memeluk kucing itu, tak peduli bajunya ikut basah. “Kau pulang,” bisiknya sambil menahan air mata.

Malam itu, Kayla membersihkan tubuh Belang dan memberinya makanan hangat. Meski tak bisa bicara, mata Belang seolah bercerita tentang perjalanan panjang yang telah dilaluinya untuk pulang. Di balik kelelahan dan tubuh kecilnya, ada kesetiaan yang tak tergantikan.

Sejak saat itu, Kayla semakin menyadari bahwa Belang bukan sekadar hewan peliharaan. Ia adalah sahabat, keluarga, dan pengingat bahwa cinta tak selalu datang dari sesama manusia. Kadang, cinta bisa ditemukan di balik mata kecil seekor kucing yang setia.

Exit mobile version