Kabartemanggung.com – Hujan turun begitu deras malam itu. Gerimis yang mulai menyelimuti kota seketika berubah menjadi deras, membawa serta suara gemuruh dari kejauhan. Di bawah langit yang kelabu, Ardi berdiri di halte bus, menatap jalan yang mulai basah. Hujan ini seakan mengingatkannya pada suatu masa, pada seseorang, dan pada sebuah janji yang pernah ia buat di bawah langit yang tak jauh berbeda.
Lima tahun yang lalu, Ardi dan Dian, kekasihnya, pernah duduk berdua di taman kota, menunggu hujan reda. Waktu itu, Dian berkata, “Hujan seperti janji yang tak bisa kita duga kapan datangnya, tapi selalu mengingatkan kita untuk menunggu.” Ardi hanya tersenyum mendengarnya, karena bagi dia, hujan bukanlah hal yang romantis. Hujan justru selalu menandakan kesedihan, kesepian, dan kerinduan yang datang tanpa diundang.
Namun, Dian berbeda. Di matanya, hujan adalah sebuah keindahan yang harus disyukuri. Ia menganggap setiap tetesan hujan yang jatuh dari langit sebagai sesuatu yang penuh makna. Dan Ardi, yang waktu itu masih sulit memahami, hanya bisa menatap Dian dengan penuh rasa sayang. Mereka duduk berdampingan, berbagi payung yang sedikit kecil untuk menutupi tubuh mereka.
Ardi masih ingat, Dian sempat berkata dengan lembut, “Janji kita, Ardi, kita akan selalu berada di bawah hujan yang sama. Apa pun yang terjadi, kita akan bertemu lagi, di tempat yang sama, saat hujan datang lagi.”
Tapi, hidup kadang tidak berjalan seperti yang kita harapkan. Hujan yang dulu menyatukan mereka, akhirnya menjadi saksi perpisahan mereka. Dian pergi dengan alasan yang tidak pernah sepenuhnya dijelaskan. Ardi hanya menerima dengan hati yang hancur, dan sejak saat itu, hujan menjadi lebih dari sekadar curahan air dari langit. Hujan adalah kenangan, adalah luka yang tak kunjung sembuh.
Kini, Ardi berdiri di halte itu, menunggu bus yang entah kapan datang. Hujan semakin lebat, dan rasa rindu itu kembali menggebu di dadanya. Ia ingat betul bagaimana Dian tersenyum saat hujan pertama kali turun di tahun itu, saat mereka pertama kali bertemu. Betapa ia mencintai hujan karena hujan membawa kenangan indah itu.
Tiba-tiba, bus yang ia tunggu-tunggu muncul dari kejauhan. Ardi melangkah maju, tapi langkahnya terhenti ketika seorang perempuan dengan payung merah berjalan menuju halte yang sama. Tanpa sengaja, mata mereka bertemu. Perempuan itu tersenyum, dan senyuman itu seolah membawa Ardi kembali ke masa lalu.
“Ardi?” suara itu begitu familiar. Dan ketika perempuan itu membuka payungnya dan berdiri lebih dekat, Ardi bisa melihat jelas wajahnya. Dian. Perempuan yang telah lama hilang dari hidupnya, kini berdiri di depannya, di bawah hujan yang sama.
“Kamu?” Ardi terperangah, suaranya hampir tak keluar. “Apa… apa yang kamu lakukan di sini?”
Dian tertawa ringan. “Aku datang untuk menepati janji. Janji kita, Ardi. Bahwa kita akan bertemu lagi di bawah hujan yang sama.”
Ardi tidak bisa berkata apa-apa. Hatinya berdebar hebat, seolah dunia kembali berputar dengan cara yang berbeda. Semua rasa sakit yang pernah ia rasakan seakan terhapus oleh kehadiran Dian yang tiba-tiba ini. Ia menyadari, kadang waktu memang punya caranya sendiri untuk membawa kita kembali ke tempat yang paling kita rindukan.
Dian menatapnya dengan penuh harapan. “Ardi, aku minta maaf. Waktu itu, aku tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi. Tapi, aku tahu satu hal. Hujan yang membawa kita berpisah, kini membawa kita bertemu lagi.”
Mata Ardi mulai berkaca-kaca. “Aku… aku tidak tahu harus berkata apa. Aku sudah lama kehilanganmu, Dian.”
“Aku juga merindukanmu,” jawab Dian dengan lembut. “Dan aku ingin kita memulai lagi. Mungkin tidak seperti dulu, tapi kita bisa mencoba, kan?”
Ardi mengangguk perlahan, lalu mengulurkan tangan untuk menggenggam payung Dian. “Mari kita berjalan bersama, sekali lagi, di bawah hujan ini.”
Mereka berdua berjalan berdampingan, di bawah hujan yang semakin lebat, dengan hati yang penuh harapan. Hujan yang dulu menjadi saksi perpisahan, kini menjadi saksi pertemuan kembali. Mungkin, seperti halnya hujan, cinta juga punya cara untuk datang dan pergi. Tapi kadang, cinta itu selalu kembali, bahkan setelah hujan reda.
Dan malam itu, di bawah langit yang penuh tetesan air, Ardi tahu bahwa hidup, seperti hujan, akan selalu memberi kesempatan kedua. (Ruroh).