Gaung Waktu yang Hilang

Oleh: Audia Widyaningrum

Dr. Arion Bram, seorang fisikawan eksentrik dengan rambut perak acak-acakan dan kacamata tebal yang selalu melorot, memandang ciptaannya dengan napas tertahan. Di tengah laboratoriumnya yang berantakan, diapit oleh tumpukan buku fisika dan sisa-sisa kopi dingin, berdirilah Kronos, sebuah mesin waktu yang terlihat seperti perpaduan kapsul ruang angkasa dan jam saku raksasa. Permukaannya berkilauan dengan panel-panel logam yang aneh, dan di dalamnya, kursi tunggal dengan sabuk pengaman tebal menunggu.

“Ini dia, Aurora,” gumam Arion pada kucing sphynx peliharaannya yang duduk anggun di atas tumpukan makalah. “Jawabanku atas pertanyaan terbesar umat manusia.”

Misi Arion bukan untuk melihat masa depan, yang ia anggap terlalu mudah berubah, atau masa lalu yang monumental. Ia ingin menemukan gaung waktu yang hilang: momen-momen kecil, tak tercatat, yang membentuk alur sejarah. Seperti senyum pertama seorang ibu pada bayinya yang tak pernah diabadikan, atau bisikan rahasia antara sepasang kekasih di bawah rembulan, ratusan tahun yang lalu. Ia percaya, di sana, terdapat esensi kemanusiaan yang paling murni.

Perjalanan pertamanya adalah ke Temanggung, 1880-an. Arion memilih sebuah desa kecil di lereng gunung, jauh dari hiruk pikuk kota. Ia muncul di sebuah ladang tembakau yang menghijau, matahari pagi menyiramkan cahaya keemasan. Ia melihat seorang petani tua, keriput memenuhi wajahnya, menyenandungkan lagu pelan sambil memetik daun tembakau. Tidak ada kamera, tidak ada rekaman. Hanya momen murni yang beresonansi.

Arion mencatatnya dalam buku hariannya: “Suara nyanyian itu… bukan melodi yang kompleks, tapi getaran damai yang menembus waktu. Seolah waktu itu sendiri tersenyum.”

Ia melakukan perjalanan lagi dan lagi. Ke Venesia abad ke-15, untuk merasakan aroma masakan dari dapur rumahan yang sibuk, yang tidak pernah dicatat dalam sejarah kuliner. Ke sebuah padang rumput di Mongolia, ribuan tahun lalu, untuk mendengar tawa seorang anak nomaden yang berlari bebas, tak terbebani oleh peradaban. Ia mencari gaung kemanusiaan, getaran-getaran kecil yang membentuk tapestri kehidupan.

Setiap kali ia kembali, Arion merasa jiwanya semakin kaya, namun juga semakin aneh. Ia mulai berbicara dengan aksen-aksen lama, mencampuradukkan dialek dari berbagai era. Terkadang, ia akan mendapati dirinya termenung, mencoba mengingat apakah secangkir teh yang sedang dipegangnya dibuat di masa kini atau di dapur abad ke-17 yang pernah ia kunjungi.

Suatu hari, saat ia kembali dari perjalanan ke Mesir kuno—ia menyaksikan seorang seniman memahat hieroglif dengan kesabaran luar biasa—Kronos mulai berkedip-kedip. Panel-panelnya berdenyut tak teratur, dan dengungan mesinnya berubah menjadi raungan yang mengkhawatirkan.

“Apa-apaan ini?” Arion panik, memukul sisi mesin.

Kronos bergetar hebat. Layar kontrolnya memancarkan angka-angka acak. Detik-detik berubah menjadi menit, menit menjadi jam, dan kemudian, waktu seolah berhenti. Arion merasakan sebuah sentakan kuat, lebih dahsyat dari lompatan waktu mana pun yang pernah ia alami.

Ketika getaran mereda, Arion mendapati dirinya berada di tempat yang sama, di laboratoriumnya. Namun, ada yang berbeda. Debu di meja lebih tebal, Aurora tidak ada di tempatnya, dan ada tumpukan surat-surat tua dengan stempel pos yang sudah buram di atas mejanya. Ia mengambil salah satunya. Tanggalnya: 10 Juli 2075.

Arion terpaku. Kronos, bukannya membawanya ke masa lalu, telah melontarkannya 50 tahun ke depan. Ia tidak hanya mencari gaung waktu, ia kini menjadi gaung itu sendiri, terlempar dari eranya.

Ia melangkah keluar dari laboratorium yang kini tampak asing. Kota di luar telah berubah drastis. Bangunan-bangunan menjulang lebih tinggi, kendaraan melayang di udara, dan orang-orang mengenakan pakaian futuristik. Mereka berjalan melewatinya tanpa menoleh, seolah ia adalah hantu dari masa lalu.

Arion mencoba berbicara dengan mereka, namun kata-katanya terdengar aneh di telinga mereka. Bahasa telah sedikit bergeser, aksennya terasa kuno. Ia sadar, pencari gaung waktu itu kini telah menjadi gaung yang dicari. Ia adalah anomali, sebuah jejak dari masa lalu yang tak disengaja.

Dengan hati berat, Arion kembali ke Kronos. Ia mencoba menyalakannya lagi, berharap bisa kembali ke zamannya. Namun, Kronos hanya diam. Mati. Mesin itu mungkin telah mengorbankan dirinya sendiri untuk perjalanan terakhir yang tak terduga ini.

Arion menatap keluar jendela laboratoriumnya yang kini usang. Di kejauhan, matahari terbenam memancarkan cahaya oranye di antara gedung-gedung pencakar langit. Ia telah menemukan gaung waktu, namun dalam prosesnya, ia kehilangan gaungnya sendiri. Ia adalah suara yang hilang di tengah kebisingan masa depan, sebuah jejak dari era yang telah berlalu, menunggu untuk ditemukan oleh seseorang yang akan mencari esensi kemanusiaan di masa lalu.

Exit mobile version