Oleh: Dewi Puji Lestari
Kabartemanggung.com – Bahasa merupakan cerminan budaya yang menunjukkan bagaimana cara masyarakat melihat lingkungan sekitarnya. Indonesia dengan keanekaragaman bahasa di setiap daerahnya mampu menciptakan dan menunjukkan keunikannya tersendiri.
Salah satu fenomena menarik adalah makna kata “gêdang” dalam bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Orang Jawa, menyebut “gêdang” bermaksud menunjukkan buah pisang. Sedangkan orang Sunda, menyebut “gêdang” bermaksud menunjukkan buah pepaya.
Dalam bahasa Jawa, buah pisang sebut dengan kata “gêdang”, sedangkan untuk buah pepaya disebut dengan “kates” atau “gandul”. Sedangkan dalam bahasa Sunda, buah pisang disebut dengan “cau” dan buah pepaya disebut dengan “gêdang”.
Kesalahpahaman makna bahasa akan terjadi ketika seorang penutur Sunda berbicara dengan orang Jawa. Misalnya, orang Sunda yang meminta gedang di rumah orang Jawa maka akan disuguhi dengan buah pisang. Sebaliknya jika orang Jawa meminta gedang di rumah orang Sunda maka akan disuguhi buah pepaya.
Fakta menarik dari kata pisang dalam terminologi umum penutur tradisional bahasa Sunda, ternyata mereka tidak terlalu identik dengan buah pisang dalam bahasa Indonesia, lho! Kok bisa?
Ketika berbicara dalam bahasa Indonesia, orang Sunda menggunakan kata pisang bukan cau. Dan kata pisang biasa digunakan dalam bahasa Sunda bukan untuk menunjukkan nama buah melainkan sebutan untuk olahan makanan yang berbahan dasar pisang. Misalnya, kita mengenal pisang yang berbungkus tepung terigu dan digoreng sebagai pisang goreng, maka orang Sunda menyebut pisang goreng hanya cukup dengan kata pisang. Jadi bagi orang Sunda, pisang bermakna sebagai cau yang digoreng.
Semakin meningkatnya pengaruh penggunaan bahasa Indonesia bagi penutur bahasa Sunda, istilah-istilah dalam bahasa Sunda mulai terdesak. Dilansir dari artikel Kang Win (2020), istilah pisang goreng lebih populer dibandingkan dengan cau goreng. Hal ini disebabkan pada arti kata goreng yang dalam bahasa Sunda berarti buruk. Sehingga orang Sunda memilih untuk penggunaan kata goreng diletakkan di depan nomina untuk menghindari konotasi yang buruk. Contohnya, penutur Sunda menyebutkan goreng peuyeum bukan peuyeum goreng. Namun, hal ini berbeda dengan penyebutan nasi goreng. Karena sedari awal, nasi goreng memang olahan yang dibuat untuk menyelamatkan sisa nasi yang akan basi.
Meski membingungkan, adanya fenomena ini tentunya dapat memperkaya identitas linguistik Indonesia. Dengan memahami keunikan dari ragam bahasa daerah, kita bisa lebih menghargai keragaman dan mempererat hubungan antarbudaya.