Gunung Macet, Alam Sesak: Potret Liburan Panjang di Punggung Negeri

Oleh : Indah Kurnia Sari

Liburan panjang dari Juni hingga Agustus menjadi momen yang dinanti banyak orang. Cuaca yang cerah dan anak-anak yang libur sekolah membuat pegunungan menjadi destinasi favorit. Tapi alih-alih menjadi tempat pelarian dari hiruk-pikuk kota, kini banyak gunung di Indonesia justru berubah menjadi lautan manusia. Jalur pendakian yang biasanya tenang dan penuh keheningan, kini dipenuhi antrean tenda, musik keras, dan sampah berserakan. Gunung yang dulu jadi tempat kontemplasi kini terasa seperti pasar dadakan.

Fenomena ini menjadi ironi. Di satu sisi, meningkatnya minat masyarakat terhadap kegiatan luar ruang patut diapresiasi. Alam memang seharusnya menjadi ruang yang terbuka untuk siapa saja. Namun di sisi lain, lonjakan jumlah pendaki yang tidak dibarengi dengan edukasi dan kesadaran lingkungan telah menimbulkan dampak serius: kerusakan ekosistem, terganggunya satwa, dan menurunnya kualitas pengalaman mendaki itu sendiri.

Salah satu penyebab utama “kemacetan” di gunung adalah kurangnya pengaturan kuota dan pengelolaan yang tegas dari pihak pengelola. Banyak jalur pendakian masih menerima ribuan pendaki tanpa sistem booking online yang memadai. Toilet darurat tak cukup, tempat sampah terbatas, dan tidak ada pemeriksaan perlengkapan atau edukasi etika sebelum mendaki. Akibatnya, gunung-gunung kita yang rapuh harus menanggung beban yang berlebihan.

Tak kalah penting adalah peran media sosial dalam membentuk budaya pendakian instan. Banyak orang mendaki bukan karena ingin menyatu dengan alam, melainkan demi foto estetik di atas awan. Hal ini mendorong munculnya “pendaki dadakan” yang tak siap secara mental dan etika. Selfie di puncak lebih diprioritaskan ketimbang menghormati alam. Bahkan beberapa tak segan membawa speaker besar, merokok sembarangan, dan meninggalkan sampah plastik di titik-titik istirahat.

Gunung bukan taman rekreasi biasa. Ia adalah ruang hidup yang harus dihormati dan dijaga. Butuh regulasi yang lebih ketat, edukasi berkelanjutan, serta kesadaran kolektif bahwa menikmati alam juga berarti bertanggung jawab atas keberlanjutannya. Komunitas pendaki, pengelola jalur, pemerintah, dan masyarakat harus duduk bersama merancang sistem yang adil dan berkelanjutan agar pendakian tetap menjadi aktivitas yang sehat dan ramah lingkungan.

Jika tidak ada perubahan cara pandang dan kebijakan yang mendukung konservasi, maka bukan tidak mungkin gunung-gunung kita akan kehilangan nilai alaminya. Bukannya menemukan kedamaian, para pendaki hanya akan menemui keramaian dan kerusakan. Gunung yang dulu menjadi tempat mencari ketenangan, kini hanya menyisakan sesak, baik untuk alam, maupun jiwa-jiwa yang merindukan sunyi.

Exit mobile version