Oleh Cholifia Nurchaliza
Namaku Irfan, aku adalah seorang guru honorer di sebuah sekolah SMP, aku memiliki istri dan tiga anak. Istriku bernama Candra. sedangkan anakku yang pertama bernama Putra, dia berumur sembilan tahun, anakku yang kedua bernama Putri berumur enam tahun, dan anakku yang ketiga bernama Puspita baru berumur satu delapan bulan. Bagiku mereka adalah rumah tempat aku pulang. Aku bukanlah pemimpin keluarga yang sempurna. Sesungguhnya aku berasal dari keluarga yang sederhana, bahkan untuk saat ini pun aku tidak memiliki harta yang melimpah.
Usiaku 53 tahun, seorang anak yatim piyatu dengan rumah yang sangat sempit, kumuh serta berada di dalam gang. Hanya dua kamar tidur, satu dapur dan kamar mandi serta ruang tamu yang hanya beralasan karpet tanpa kursi. Setiap harinya aku menggunakan motor beat untuk bekerja. Motor itu sudah aku gunakan sejak aku menempuh Pendidikan SMA. Istriku sangat mengerti dengan keadaan aku, dia ikut membantu ekonomi kita dengan berjualan es lilin dirumah.
Aku tidak pernah membelikan barang-barang yang dinginkan bahkan dibutuhkan untuk anak dan istriku. Gaji honorer yang aku terima hanya cukup untuk makan dan biaya sehari-hari. Aku hanya ingin membahagiakan hidupku dan keluargaku. Itu saja harapanku, untuk masalah kebahagiaan materi itu semua hanya relatif. Namun, aku tak berhenti berdoa kepada Allah Swt agar kehidupan anak-anaku tidak seperti aku.
Candra : “Ayah kenapa ngelamun apa yang dipikirkan ayah, cerita kepada ibu.”
Irfan : “Tidak bu, ayah hanya memikirkan masa depan anak-anak. Bagaimana ayah bisa
Sekolahkan mereka sedangkan gaji ayah tidak cukup.”
Candra : “Jangan terlalu dipikirkan yah, ibu yakin setiap ujian pasti ada jalan kita harus banyak-
banyak bersabar.”
Irfan : “Terimakasih ya bu, dulu sewaktu ibu mau dijodohkan dengan anak orang kaya ibu
tetap memilih ayah yang tidak banyak harta ini.”
Aku memang guru honorer, tetapi terlepas dari itu Aku sudah mengikuti beberapa tes untuk menjadi guru PNS. Namun, belum pernah diterima. Di sekolah Aku pun di kenal sebagai guru yang baik dan ramah. Aku mengajar mata pelajaran Ilmu Pendidikan Sosial. Hampir semua murid menyukaiku begitu juga rekan guru yang lainnya.
Irfan : “Selamat pagi anak-anak, hari ini sudah siap belajar?” tanya Irfan kepada murid-murid.
Murid : “Pagi pak Irfan…sudah siap.”
Irfan : “Baik langsung saja berdo’a menurut keyakinannya masing-masing.”
Irfan : “Pertemuan hari ini tidak ada teori melainkan kalian menonton video yang saya share
lalu simpulkan di depan, ada tiga hadiah buat tiga orang yang berani menyampaikan
simpulannya di depan bagaimana setuju?”
Murid : “Wahh sangat setuju pak.”
Begitulah cara mengajar aku, aku selalu sedikit memberikan hadiah agar siswa bersemangat belajar dan tidak bosan di dalam kelas. Aku bekerja dengan iklas tanpa memandang gaji yang aku peroleh. Karena jadi guru adalah cita-citaku dari kecil. Di saat jam sekolah tiba-tiba Aku mendapat telepon dari istriku mengabarkan bahwa rumah kita kebakaran dan tidak menyisakan apa pun.
Irfan : “Kenapa bisa terjadi kebakaran dirumahku?” tanya Irfan kepada warga.
Candra : “Ayah ini semua salahku, aku lupa mematikan kompor sebelum pergi kepasar.”
Irfan : “Tidak…ini pasti mimpi.” teriak Irfan dengan histeri.
Semenjak kejadian tersebut, Aku beserta anak dan istriku mengontrak di salah satu rumah yang lebih kecil dibanding rumahku sebelumnya. Pengeluaran pun semkin bertambah, otomatis gaji Aku kurang untuk mencukupi semua biaya kebutuhan hidup. Setiap pulang mengajar Aku menyempatkan menjadi ojek online untuk mendapatan penghasilan tambahan. Meski profesiku menjadi seorang guru, aku tak malu melakukan itu semua.
Cobaan yang terus datang bertubi-tubi di keluargaku membuat semakin terkuras energiku. Baru saja rumahnya terbakar, Istriku di larikan kerumah sakit dan mengidap penyakit tumor otak. Untuk membiayai pengobatan istri aku rela meminjam uang sana sini dan menggadaikan motor satu-satunya. Mulai dari bangun, masak, mencuci, mengajar, serta narik ojol aku lakukan sendiri karena isrtiku yang terbaring lemah dirumah sakit. Bahkan anakku yang baru berumur delapan bulan aku titipkan di panti asuhan untuk sementara. Kondisi yang membuat aku terpaksa melalukan itu. Sesekali anakku dijaga oleh kakaknya setelah pulang sekolah di panti asuhan.
Aku tidak menyerah, dia melanjutkan perjuangannya untuk menjadi PNS (pegawai negeri sipil). Aku mengikuti kembali seleksi CPNS (calon pegawai negeri sipil), aku berharap kali ini berhasil. Setiap hari di setiap sujudku selalu berdoa untuk kesembuhan istriku yang sudah sepuluh hari koma. Namun lagi dan lagi aku gagal dalam seleksi CPNS tersebut. Kerja keras aku yang selalu tanpa hasil itu membuatnku akan terus bersemangat.
Aku mulai membuka usaha laundry di rumah kontrakan dengan modal yang aku dapatkan dari pinjam Bank. Usaha ini aku kelola sendiri dan di namai dengan Tiga Laundry. Aku Mulai promosi kepada tetangga-tetangga kontrakan, teman teman guru, serta promosi di media sosial itu membuat aku kebanjiran pelanggan. Hari demi hari pelanggan bertambah dan semakin ramai.
Dua minggu berlalu, Aku mendapat kabar bahwa istriku telah diperbolehkan pulang setelah membaik kondisinya dari operasi tumor otaknya. Langsung saja aku menjemput istriku di rumah sakit.
Irfan : “Akhirnya bu kamu bisa pulang dengan kondisi yang sehat, aku sangat bersyukur.”
Candra : “Alhamdulilah yah, bagaimana kondisi anak-anak?”
Irfan : “Mereka baik-baik saja, akan tetapi aku sempat menitipkan Puspita di panti asuhan
sementara karena aku kualahan mengurus semuanya sendiri, maafkan aku bu.”
Candra : “Tidak apa yah, ibu yang meminta maaf karena telah membuat ayah kerepotan.”
Irfan : “Tidak, mari kita pulang ayah punya kejutan buat ibu, ibu kan belum melihat usaha
laundry kita.”
Setelah enam bulan dari kepulangan istrinya. Usaha laundry yang aku bangun berkembang dengan baik. Aku mampu membayar hutang-hutangku, membelikan barang-barang untuk anak istriku, bahkan aku mampu menyewa kontrakan yang lebih besar. Selain itu, Aku juga telah membuka cabang untuk usaha laundyku. Tabunganku yang cukup membuat keluargaku tidak lagi kesusahan. Disisi lain, aku tetap menjalani tugas muliaku menjadi seorang guru dengan baik. Menjadi guru honorer sekaligus menjalankan usaha laundry yang kini telah memiliki sepuluh karyawan. “Setiap hujan pasti ada pelangi” ungkap aku dalam hati.
Tak sampai di situ, dua tahun kemudian aku mampu membelikan rumah yang terbilang merah untuk anak dan istriku. Anak-anak pun aku sekolahkan di sekolah yang ternama, bahkan jauh lebih bagus dari tempat aku mengajar. Mungkin nasib menjadi guru aku tidak bagus seperti teman-teman guru yang lainnya, tetapi aku menjalankan profesiku tanpa pamrih dan tanpa memandang gaji.