CerpenSastra

Hujan di Beranda Lama

Karya: Feiza Rainannisa

Rintik-rintik hujan mulai jatuh dari langit kelabu, membasahi halaman rumah tua itu. Langit menggantung berat, seolah-olah menyimpan rahasia yang terlalu pilu untuk diceritakan. Hana duduk di beranda, menggenggam secangkir teh yang mengepul. Tangannya gemetar sedikit, bukan karena dingin, tapi karena kenangan.

Rumah ini dulu penuh dengan tawa. Ayah selalu duduk di kursi kayu itu, bersenandung sambil menyesap kopi hitamnya. Ibu sibuk menyulam sambil memperhatikan hujan yang menari di atas dedaunan. Dan Hana kecil akan melompat-lompat di genangan air, tertawa bebas tanpa khawatir basah.

Namun, waktu berjalan, membawa serta kehangatan itu pergi. Ayah pergi lebih dulu, disusul Ibu beberapa tahun kemudian. Hana tumbuh dewasa, merantau, dan berusaha melupakan rumah ini, dengan segala isinya. Tapi hari ini, ia kembali.

Hujan sore ini sama seperti dulu. Aromanya campuran tanah basah dan daun yang segar membawa Hana ke masa kecilnya. Ia menutup mata dan hampir bisa mendengar suara tawa Ayah dan Ibu, seperti sebuah rekaman yang diputar ulang oleh kenangan.

Saat ia membuka mata, sebuah bayangan kecil berlari di halaman. Seorang anak perempuan, mungkin berusia delapan tahun, melompat-lompat di genangan air. Rambutnya yang basah menempel di wajahnya, tapi senyumnya begitu lebar.

“Siapa kamu?” tanya Hana, setengah berbisik.

Anak itu berhenti, menatapnya dengan mata bulat penuh rasa ingin tahu. “Aku… aku cuma suka hujan,” jawabnya sambil tertawa kecil.

Hana tertegun. Tawa itu, senyum itu terasa begitu akrab. Tapi sebelum ia sempat bertanya lagi, anak itu berlari menuju gerbang dan menghilang di balik tirai hujan.

Hana bangkit, menggenggam pegangan kursi kayu yang dingin. Air matanya bercampur dengan hujan yang mulai deras. Di tengah keheningan, ia menyadari sesuatu: anak itu mengingatkannya pada dirinya sendiri, Hana kecil yang dulu mencintai hujan, bebas tanpa beban.

Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, Hana melepas sandalnya dan melangkah keluar. Genangan air terasa dingin di telapak kakinya, tapi ia tidak peduli. Ia menengadah ke langit, membiarkan hujan membasuh semua kerinduan yang selama ini dipendamnya.

Hujan di beranda lama itu kini membawa kebahagiaan baru, seolah-olah membisikkan pesan bahwa kenangan bukanlah sesuatu yang harus dilupakan, melainkan dirangkul dengan hati yang penuh.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button