Hujan di Ujung Pelajaran

Oleh: Audia Widyaningrum

Bel sekolah berbunyi nyaring, menandakan jam pelajaran terakhir telah usai. Anak-anak bersorak riang, bergegas memasukkan buku ke dalam tas. Tapi sore itu, awan menggantung pekat, dan sebelum satu langkah pun keluar kelas, hujan turun deras mengguyur halaman sekolah.

“Aduh… pulangnya gimana nih,” keluh Raka, siswa kelas 5 SD Mutiara Bangsa.

Ia menatap gerimis yang berubah jadi hujan lebat. Biasanya, ayahnya menjemput naik motor. Tapi hari itu, ia tahu ayah sedang kerja lembur.

Di pojok kelas, Nisa sedang melipat-lipat kertas jadi perahu. “Lihat, Ka! Kapal kertasnya bisa jalan!” katanya sambil menaruhnya di lantai yang mulai basah oleh rembesan air.

Raka hanya tersenyum kecil. Perahu itu memang tak akan membawa mereka pulang, tapi setidaknya bisa membawa sedikit tawa.

Tak lama, satu per satu teman mereka dijemput. Ada yang pakai payung besar, ada juga yang nekat lari menembus hujan. Raka masih duduk di ambang jendela kelas, menunggu.

Lalu seorang guru mendekat—Bu Mira, guru kelas mereka.

“Raka, belum dijemput?”

Raka mengangguk pelan.

Bu Mira tersenyum, lalu membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah payung biru.

“Nih, Ibu punya payung. Yuk, bareng Ibu sampai depan gang. Nanti pulangnya Ibu anterin sekalian.”

Raka menatapnya dengan mata berbinar. “Beneran, Bu?”

“Iya dong. Hujan nggak selamanya jadi hambatan. Kadang dia datang biar kita bisa berjalan bersama,” ucap Bu Mira sambil membuka payungnya.

Di bawah hujan yang terus turun, Raka melangkah di samping gurunya. Suara gemericik jadi lagu sore, dan meski bajunya sedikit basah, hatinya hangat. Ia belajar sesuatu hari itu: bahwa kebaikan bisa turun seperti hujan—diam-diam, tapi menyentuh.

Exit mobile version