Oleh : Sufi Saniatul Mabruroh
Hari itu, Vivi dan teman-temannya yaitu Dewi, Andre, Zaki, dan Lala. Mereka sedang berkemah di salah satu Gunung yang sangat indah di jawa. Mereka semua senang karena ini adalah perjalanan pertama mereka bersama. Tujuan mereka adalah mendaki sampai ke puncak gunung keesokan harinya.
Setelah mendirikan tenda dan makan malam, mereka duduk di sekitar api unggun. Udara mulai dingin dan kabut tipis disertai embun turun pelan-pelan.
“Besok kita bangun pagi-pagi banget ya, sebelum subuh, biar bisa lihat matahari terbit dari atas puncak!” kata Andre dengan penuh semangat.
“Siap!” jawab Zaki sambil mengacungkan jempolnya.
Mereka semua tertawa dan menikmati kebersamaan dimalam itu. Setelahnya, mereka masuk ke tenda masing-masing untuk tidur. Vivi, Lala dan Dewi tidur di satu tenda. Saat itu, Dewi kelihatan agak lemas, Vivi yang melihatnya langsung memastikan keadaan dewi.
“Kamu capek banget Dew?” tanya Vivi.
“Iya, tapi aman kok, tenang. Kamu tidur duluan aja,” jawab Dewi pelan.
Sekitar tengah malam, Vivi terbangun karena mendengar Dewi merintih. Vivi melihat Dewi duduk dengan mata terbuka lebar dan wajahnya pucat. Tiba-tiba Dewi berteriak keras, suaranya berbeda dan menyeramkan.
“Aku tidak mau! Jangan dekat-dekat!” teriak Dewi.
Vivi langsung panik dan keluar dari tenda sambil memanggil teman-temannya. Andre dan Zaki cepat-cepat datang ke tenda perempuan. Mereka semua bingung dan ketakutan melihat Dewi seperti itu.
“Kita harus turun sekarang juga,” kata Zaki serius. “Ini nggak biasa. Kita nggak bisa tinggal di sini.”
“Tapi kita belum sampai puncak,” kata Andre pelan.
“Kita bisa ke puncak lain kali. Sekarang yang penting Dewi harus selamat,” jawab Zaki.
“Apa?! Sekarang?” Lala terkejut. “Tapi ini malam! Jalannya gelap dan licin. Bahaya banget!”
“Lebih bahaya kalau kita tetap di sini!” balas Zaki dengan nada tinggi. “Lihat Dewi! Kita nggak tahu dia kenapa!”
Andre ikut bicara, “Tapi kita tinggal selangkah lagi ke puncak. Kita bisa tunggu sampai pagi. Siapa tahu besok Dewi udah baikan.”
“Kalau tunggu pagi dan keadaan Dewi makin parah, kamu mau tanggung jawab?!” sahut Zaki. Vivi yang mendengar perdebatan itu hanya terdiam dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Lala terlihat ragu. “Aku juga pengen sampai puncak, menikmati sunrise pertamaku di puncak, tapi aku juga takut. Dewi kelihatan kesakitan.”
“Ini bukan hanya soal puncak!” ujar Vivi dengan isak tangis. “Ini soal teman kita! Kita harus turun!”
Andre menghela napas panjang. Ia melihat wajah Dewi yang pucat dan tubuhnya yang masih gemetar.
Akhirnya, ia mengangguk. “Oke, Kita turun. Demi Dewi.”
Zaki ikut mengangguk. “Aku di belakang, jagain kalian. Andre pimpin di depan.”
Mereka semua akhirnya setuju. Dengan cepat mereka membereskan tenda dan barang-barang. Vivi memegang tangan Dewi dan berusaha menenangkannya. Meski malam gelap dan jalannya licin karena embun, mereka tetap berjalan turun bersama-sama.
Butuh waktu lama sampai akhirnya mereka tiba di bawah. Mereka sampai dibawah saat langit sudah mulai terang. Mereka semua sangat kelelahan, tapi hati mereka lega karena Dewi mulai membaik.
“Kita nggak jadi ke puncak, tapi kita semua selamat dan tetap bersama. Itu lebih penting,” kata Vivi sambil tersenyum.
Yang lain mengangguk setuju. Mereka tahu, perjalanan ini bukan hanya tentang mencapai puncak gunung, tapi juga tentang menjaga satu sama lain.