
Oleh : Indah Kurnia Sari
Pagi itu kabut tipis masih menggantung di lembah saat empat sahabat bersiap memulai perjalanan panjang mereka. Arka, anggota kelompok yang paling antusias, sudah mengikat tali sepatu dengan wajah berbinar. Di sebelahnya, Dinda, wanita pemberani dengan mata berbinar cermat memeriksa peta dan peralatan. Rara, si bijaksana dan tenang, memasang ransel dengan hati-hati, sedangkan Fajar, yang paling pendiam, hanya mengangguk padat sembari menggenggam botol air.
Gunung Arjuna menjulang di depan mereka, megah dan penuh misteri. Empat orang ini bukan pendaki amatir, tapi ini adalah perjalanan mereka yang paling menantang.
“Ini bukan sekadar soal puncak,” ujar Rara membuka pembicaraan. “Ini tentang bagaimana kita memahami diri sendiri dalam perjalanan ini.”
“Setuju,” timpal Dinda. “Gunung menguji kita bukan hanya fisik, tapi juga mental.”
Arka mengepalkan tangan. “Ayo buktikan kita bisa!”
Langkah pertama mereka menyusuri jalur setapak yang berkelok, tertutup dedaunan kering. Suara berderak daun di bawah sepatu menambah aura kesunyian hutan pagi itu. Udara dingin menyapa, membantu membangkitkan semangat.
Hari pertama berjalan baik. Mereka bercanda dan berfoto, menikmati kesejukan hutan, melihat burung-burung bersifat tempramental dan monyet yang sesekali meloncat dari cabang ke cabang. Tetapi, tak lama kemudian, medan mulai menanjak terjal, bebatuan lepas mengharuskan mereka ekstra hati-hati.
Ketika matahari mulai menghangatkan bumi, mereka berhenti sebentar untuk beristirahat di sisi sebuah sungai kecil. Arka mengambil botol air dan melepas helmnya.
“Aku merasa perjalanan ini lebih berat dari yang kukira,” kata Fajar akhirnya dengan nada jujur. “Kadang aku takut menyerah.”
Dinda duduk dekat, menepuk bahunya. “Tidak apa-apa merasa takut. Malah bagus kalau kita acknowledge itu. Tapi jangan biarkan rasa takut mengendalikannya.”
Rara menambahkan, “Gunung ini bukan musuh, Fajar. Ia gurumu. Dengarkan dia, dan kamu akan belajar banyak.”
Malam pertama mereka habiskan di sebuah camping ground sederhana, dikelilingi pohon-pohon pinus raksasa. Angin dingin menusuk tulang, tapi sekeliling api unggun memanaskan hati. Obrolan mereka mengalir dari cerita masa kecil sampai impian dan ketakutan.
Hari kedua, hujan deras mengguyur, membuat jalur licin dan berbahaya. Mereka harus berjalan ekstra hati-hati dan fokus. Arka hampir terpeleset, tapi tangan Dinda cepat meraih dan menahan jatuh.
“Terima kasih,” bisik Arka sambil tersenyum lega.
Situasi itu membuat mereka sadar dalamnya makna solidaritas. Saling membantu dan menguatkan adalah nyawa sebuah tim.
Tiba-tiba, angin kencang melanda. Suara deru angin seperti memanggil mereka berhenti. Tapi keinginan mencapai puncak lebih kuat.
Rara yang biasanya tenang, mulai menunjukkan kelelahan di wajahnya. “Mungkin kita harus istirahat dulu,” usulnya.
Fajar mengangguk setuju, walau hatinya cemas memikirkan waktu yang tersisa. Mereka mendirikan tenda seadanya dan berdoa agar pagi nanti cuaca lebih baik.
Keesokan pagi, udara cerah menyambut dengan sinar matahari keemasan. Semangat baru mengalir. Jalur semakin menanjak, dan bebatuan besar harus mereka daki dengan hati-hati.
Arka memimpin langkah, tapi sesekali menoleh memastikan teman-temannya masih mengikuti.
Tepat sebelum puncak, sebuah jurang yang dalam membuat jantung mereka hampir berhenti. Rara mengambil nafas panjang, kemudian menggandeng tangan Dinda.
“Satu langkah demi satu langkah,” katanya perlahan.
Mereka membantu satu sama lain melewati tanjakan terakhir. Saat akhirnya kaki mereka menginjak puncak, dunia seolah berhenti sejenak. Pemandangan luas terbentang; awan-awan berlomba melintas di bawah kaki mereka, kabut berpendar di tepi ngarai, dan matahari mulai tenggelam di barat.
Keempat sahabat berdiri bersama, mata melekat pada cakrawala, hati penuh syukur.
“Perjalanan ini bukan cuma tentang mencapai puncak,” bisik Dinda. “Tapi tentang perjalanan bersama kalian.”
Fajar tersenyum untuk pertama kali tanpa kata-kata.
Saat langit mulai gelap, mereka menyalakan senter dan mulai perjalanan turun, membawa lebih dari sekadar jejak kaki di tanah, tapi juga kenangan dan pembelajaran hati yang tak akan hilang.