CerpenSastra

Kakek Tua Pemungut Sampah

Oleh : Khansa Aisyatul Nabilla

Pagi itu, matahari bersinar cerah dan udara masih terasa segar. Tari berjalan bersama teman-temannya menuju sekolah. Hari itu adalah hari Senin dimana mereka harus berangkat lebih pagi karena akan dilaksanakan upacara bendera.
“Ayo, Tar cepat! nanti kita terlambat!” Dinda berkata sambil menggandeng tangan Tari.
Tari hanya tersenyum. Dia tidak terburu-buru, menikmati udara pagi yang sejuk. Jalanan desa itu biasa mereka lewati setiap hari, jalannya agak berdebu, dengan pohon-pohon tinggi di sepanjang jalan. Belum jauh melangkah, mereka melihat seorang kakek tua sedang mengaduk bak sampah seolah sedang mencari sesuatu yang berharga. Kakek itu memakai topi lusuh dan bajunya tampak kusam. Aroma sampah yang dibawa kakek itu sangat menyengat, membuat Tari dan teman-temannya sedikit terhenti.
“Aduh, bau banget! Kakek itu kok kerjanya bau begitu sih?” ujar Dinda sambil menutup hidungnya dan sedikit meringis.
“Ah, iya, jijik!” kata Rani, ikut menutup hidung dengan cara yang agak berlebihan.
Tari hanya menunduk, merasa tidak enak. Sebagian besar anak-anak di desanya memang merasa jijik dengan pekerjaan seperti itu. Sampah yang tersebar di jalan selalu jadi pemandangan yang tidak menyenangkan. Tapi kakek itu, meskipun terlihat lelah dan kotor, tetap dengan sabar memungut sampah satu per satu tanpa rasa jijik.
“Kasian kakek itu, harus banting tulang bekerja padahal beliau sudah tua” pikir Tari dalam hati, tapi dia tidak mengatakannya.
Setelah beberapa hari berlalu, setiap kali mereka berangkat sekolah, kakek pemungut sampah itu selalu ada di tempat yang sama. Tari mulai merasa aneh. Setiap kali mereka melewatinya, kakek itu akan tersenyum, walau senyumnya agak sulit dilihat karena wajahnya yang sudah tua dan keriput.
Namun, pada hari Jumat itu sesuatu yang berbeda terjadi. Tari tiba lebih awal dari biasanya, karena hari itu mereka akan mengikuti kegiatan bersih-bersih sekolah. Saat ia berjalan sendiri menuju sekolah, ia melihat kakek itu sedang berhenti di bawah pohon besar, duduk sebentar di bangku kecil di pinggir jalan. Gerobaknya terparkir di sebelahnya, penuh dengan sampah yang telah dipungutnya.
Tari merasa heran dan sedikit tergerak. Ia mendekat perlahan, meskipun sedikit ragu. Kakek itu melihat Tari dan tersenyum.
“Pagi, Nak. sudah lama tidak bertemu, ya?” kata kakek itu dengan suara yang pelan namun ramah.
Tari terkejut, tak lama ia memasang senyumnya. “Pagi, Kakek. Kakek sedang istirahat ya?”
Kakek itu mengangguk, lalu berkata, “Iya, Nak. Capek juga memungut sampah sepanjang jalan ini. Tapi, kalau nggak ada yang mau bersihin, siapa lagi? Kalian anak-anak di sekolah harus bisa belajar di tempat yang bersih.”
Tari mendengarkan dengan seksama. Meskipun baunya masih ada, kali ini ia tidak merasa jijik. Ada perasaan yang berbeda. Ia teringat betapa sekolah mereka selalu bersih dan nyaman untuk belajar, dan itu semua tidak lepas dari kerja keras orang-orang seperti kakek ini.
“Emm… Kakek, kok kerja terus, sih? Pasti capek ya?” tanya Tari.
Kakek itu tersenyum, kali ini senyumnya lebih lebar. “Iya, Nak, capek. Tapi kalau jalanan ini tetap bersih, kalian bisa sekolah dengan nyaman. Lagian, siapa lagi yang mau ngurusin sampah yang bertebaran di sini?.”
Tari terdiam sejenak, memikirkan kata-kata kakek itu. Selama ini, ia hanya melihat pekerjaan kakek sebagai hal yang kotor dan tidak menyenangkan. Tapi kini, ia mulai memahami bahwa kakek itu melakukannya dengan penuh tanggung jawab, agar orang lain bisa hidup di tempat yang lebih baik.
“Maafkan kami Kakek, kalau selama ini kami jijik dengan sampah. Kami tidak mengerti kalau itu kerja kerasmu,” kata Tari dengan jujur.
Kakek itu hanya tertawa pelan. “Nggak apa-apa, Nak. Kadang orang hanya melihat bagian yang jelek saja. Tapi pekerjaan seperti ini penting untuk kebersihan semua orang.”
Hari itu, Tari merasa sangat terinspirasi. Ketika ia tiba di sekolah, ia bercerita kepada teman-temannya tentang kakek pemungut sampah yang setiap hari membersihkan jalan untuk mereka. Teman-temannya, yang awalnya tidak terlalu peduli, mulai merasa malu dan sadar. Mereka tidak lagi gmembuang sampah sembarangan di jalan atau di sekolah. Beberapa dari mereka bahkan mulai ikut mengumpulkan sampah di sekitar sekolah.
Sejak saat itu, Tari dan teman-temannya mulai lebih menghargai pekerjaan yang dianggap rendah oleh banyak orang. Mereka sadar bahwa pekerjaan seperti kakek pemungut sampah itu sangat penting, meskipun seringkali tidak terlihat dan tidak mendapat penghargaan yang cukup.

Artikel Terkait

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button