Oleh Feiza Rainannisa
Sore itu, langit di atas SMA Bina Cendekia terlihat jingga keemasan. Suara lonceng tanda pulang bergema di seluruh penjuru sekolah, memecah kebisingan murid-murid yang baru selesai belajar. Aku berjalan pelan di lorong kelas, memandangi dinding yang penuh coretan dan poster acara tahunan sekolah. Rasanya baru kemarin aku mendaftar di sekolah ini, dan sekarang, waktu berjalan begitu cepat. Tinggal beberapa bulan lagi, kami akan lulus.
“Dinda!” sebuah suara memanggilku. Aku menoleh, melihat Raka, sahabatku sejak kelas satu, berlari menghampiriku dengan ransel tergantung di satu bahu.
“Ada apa, Rak?” tanyaku sambil tersenyum.
“Kamu lupa? Hari ini kita latihan buat pensi!” katanya dengan mata berbinar.
Oh, benar. Aku hampir lupa kalau hari ini kami ada latihan tari untuk pentas seni. Kami memang tergabung dalam kelompok yang akan membawakan tarian tradisional dari daerah kami. Bagi Raka, ini hal yang sangat spesial. Tapi bagiku? Aku lebih gugup daripada bersemangat.
Latihan dimulai di aula sekolah. Musik mulai diputar, dan kami mencoba menghafal gerakan demi gerakan. Sejujurnya, aku tidak terlalu pandai menari. Kakiku sering kali melangkah ke arah yang salah, dan tanganku kaku saat mencoba mengikuti ritme. Tapi Raka selalu menyemangatiku.
“Pelan-pelan aja, Din. Jangan takut salah,” katanya sambil memeragakan ulang gerakan yang tadi kuanggap rumit.
Latihan itu menjadi momen yang tak terlupakan. Kami tertawa bersama saat salah satu teman terpeleset karena terlalu bersemangat, dan bersorak ketika akhirnya kami berhasil menampilkan gerakan dengan sempurna. Meski aku lelah, ada rasa puas dan bahagia yang memenuhi dadaku.
Hari pentas tiba. Aula dipenuhi murid-murid, guru-guru, dan orang tua yang datang untuk menyaksikan berbagai penampilan. Ketika giliran kelompok kami, aku merasakan jantungku berdegup kencang. Raka, yang berdiri di sebelahku, menepuk pundakku.
“Dinda, ini saatnya. Kita pasti bisa,” katanya dengan senyuman yang membuatku merasa sedikit lebih tenang.
Saat musik mulai dimainkan, aku mencoba melupakan semua ketakutanku. Aku hanya fokus pada gerakan, pada ritme, dan pada teman-temanku. Ketika tarian selesai, aula dipenuhi tepuk tangan. Aku bahkan melihat beberapa guru tersenyum bangga.
Setelah turun dari panggung, Raka merangkulku dengan penuh semangat. “Kamu keren banget, Din! Tuh kan, aku bilang kamu pasti bisa.”
Aku tersenyum, merasa lega dan bangga pada diriku sendiri.
Hari-hari di sekolah memang terasa singkat, tapi penuh kenangan yang tak akan terlupakan. Aku tahu suatu saat nanti, aku akan merindukan momen-momen ini, tertawa bersama teman-teman, belajar menghadapi ketakutan, dan merasakan kebahagiaan sederhana dari hal-hal kecil. Masa sekolah memang bukan hanya tentang belajar di kelas, tapi juga tentang cerita-cerita indah yang kita rangkai bersama.