Ketika Segalanya Bisa Viral, Apa yang Masih Bernilai?

Oleh: Audia Widyaningrum

Di era media sosial, kata “viral” telah menjadi bagian dari kehidupan sehari -hari. Kita menyebut sesuatu viral saat kontennya menyebar luas dalam waktu singkat entah video lucu, kisah haru, kejadian aneh, atau bahkan hal-hal sepele. Tapi, pertanyaannya: apakah semua yang viral layak untuk dirayakan?

Fenomena viral sering kali terjadi tanpa kendali. Seseorang bisa mendadak terkenal karena momen spontan, komentar lucu, atau bahkan karena mengalami kejadian memalukan yang terekam kamera. Di satu sisi, ini membuka peluang bagi siapa pun untuk dikenal. Tapi di sisi lain, viralitas kadang lebih mengutamakan sensasi daripada substansi.

Media sosial telah menciptakan budaya cepat konsumsi: lihat–like–sebar–lupa. Hari ini kita terhibur oleh video bocah joget, besok kita sudah tertawa pada prank kucing. Di tengah derasnya arus viral, kita bisa kehilangan kemampuan untuk memilah: mana yang menginspirasi, mana yang justru menyesatkan.

Masalahnya, tidak semua hal viral membawa nilai positif. Banyak konten viral yang mengandalkan kontroversi, memelihara hoaks, atau bahkan merusak reputasi seseorang. Apakah ini berarti kita tak boleh menikmati konten viral? Tentu tidak. Tapi kita harus lebih sadar bahwa apa yang cepat menyebar belum tentu baik, dan apa yang baik belum tentu viral.

Sebaliknya, banyak hal bermakna yang justru tenggelam karena tidak “menarik secara algoritma.” Kisah tentang guru yang mengajar di pelosok, pemuda yang menciptakan inovasi lokal, atau komunitas yang bergerak di bidang sosial—jarang viral, tapi justru itulah konten yang seharusnya kita angkat.

Maka dari itu, sebagai pengguna media sosial, kita perlu lebih bijak. Jangan hanya jadi penonton yang mudah terpancing. Jadilah penyaring, bukan sekadar penyebar.

Karena di tengah dunia yang serba viral, kesadaran dan nilai adalah hal yang seharusnya tetap bertahan.

Exit mobile version