Kuda Lumping vs Globalisasi: Mencari Jati Diri di Tengah Arus Modernisasi

Oleh Tri Nadya Septiyaningrum

Di lereng Gunung Sindoro, Temanggung, dentuman gamelan dan sorak sorai penonton masih setia mengiringi pertunjukan kuda lumping. Namun, di balik gemuruh suara tabuhan dan tarian magis yang memukau, terbersit kekhawatiran akan nasib kesenian tradisional ini di tengah arus globalisasi yang semakin deras. Temanggung, sebuah kota kecil dengan akar budaya yang kuat, kini menjadi medan pertempuran antara budaya lokal dan modernitas yang kian mendominasi.

Kuda lumping, dengan gerakan mistis penarinya yang kesurupan, bukan sekadar hiburan rakyat. Ia adalah simbol perlawanan, pelipur lara, dan bentuk ekspresi budaya masyarakat agraris. Namun, di era digital ini, anak-anak muda Temanggung lebih akrab dengan ponsel pintar daripada gemuruh gamelan. Mereka lebih memilih menonton konten viral di media sosial daripada menyaksikan kuda lumping yang mulai dipandang usang.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di Temanggung, tetapi juga di berbagai daerah lain di Indonesia. Namun, di kota kecil yang dikelilingi perbukitan dan hamparan tembakau ini, benturan antara budaya lokal dan global terasa lebih nyata. Generasi muda dihadapkan pada pilihan: melestarikan tradisi yang perlahan memudar atau mengejar gaya hidup modern yang menjanjikan kemudahan dan kemewahan.

Sejumlah pegiat budaya di Temanggung berusaha menjaga eksistensi kuda lumping melalui festival dan lomba kesenian tradisional. Namun, upaya ini seringkali terhalang minimnya dukungan dana dan minimnya minat generasi muda. Alih-alih mendalami seni tradisi, banyak anak muda lebih tertarik menjadi kreator konten atau influencer yang dianggap lebih “kekinian” dan menjanjikan penghasilan instan.

Globalisasi memang tidak bisa ditolak. Namun, apakah modernitas harus selalu mengorbankan budaya lokal? Temanggung harus menemukan cara agar kuda lumping tidak sekadar menjadi artefak masa lalu, tetapi juga bagian dari identitas masa kini. Misalnya, dengan mengintegrasikan kesenian ini ke dalam konten digital atau menjadikannya daya tarik wisata yang relevan dengan tren masa kini.

Kuda lumping di Temanggung mungkin tengah berada di persimpangan jalan. Namun, selama masih ada para seniman yang setia memainkan gamelan dan penari yang rela kerasukan demi mempertahankan tradisi, harapan untuk menjaga budaya lokal tetap menyala. Pertanyaannya kini adalah: apakah generasi muda Temanggung akan mengambil estafet ini atau membiarkannya hilang ditelan zaman?

Exit mobile version