Oleh: Yafika Aribah
Malam ini terasa sangat sunyi, hanya terdengar detak demi detak jam dinding tua di ruang tamu Pak Rusli. Rumah megah dengan berarsitektur zaman koloni Belanda, kini hanya di tempati oleh Pak Rusli seorang diri. Sejak istrinya meninggal beberapa tahun yang lalu,Pak Rusli selalu melamun mengingat mendiang istrinya. Apalagi anak-anaknya pun ikut pindah bersama keluarga kecilnya, kini rumahnya semakin sepi dan tidaj terawat.
Beberapa orang ada yang mengunjungi Pak Rusli ke rumahnya. Namun, ada satu hal membuat orang-orang yang berkunjung ke rumah itu merasa aneh dengan satu kursi tua yang berada di sudut ruangan.
Kursi tua itu terbuat dari kayu jati, memiliki ukiran-ukiran rumit khas kolonial dan lengkungan elegan pada kaki-kaki kursinya. Pak Rusli selalu memperingati orang-orang yang berkunjung ke rumahnya untuk tidak duduk di kursi itu.
Pada suatu malam, Rendi keponakan Pak Rusli berkunjung ke rumah dan menginap beberapa hari. Rendi seorang anak muda yang masih memiliki rasa ingin tau yang tinggi. Selain itu, Rendi dikenal sebagai orang yang logis dan tidak mempercayai hal-hal mistis. Malam itu Rendi dan Pak Rusli asik mengobrol di ruang tamu, tetapi Rendi masih penasaran dengan larangan Pak Rusli terhadap kursi tua itu.
Setelah perbincangannya dengan Pak Rusli selesai, Pak Rusli pun pamit untuk tidur. Rendi memandangi kursi tua di sudut ruangan dengan rasa penasaran. “Hemm sebenarnya ada apa dengan kursi tua itu?” gumam Rendi sambil mendekat ke kursi tua itu. Ia berjalan perlahan mendekati kursi tau itu yang tampak biasa saja. “Mungkin cerita-cerita mistis tentang kursi ini hanya omong kosong,” gumamnya.
Tanpa berpikir panjang, Rendi duduk di kursi itu. Kursi tua itu terasa dingin, lebih dingi dari kursi pada umumnya. Awalnya tidak terjadi apa-apa, Rendi tertawa kecil karena berpikir bahwa tidak ada yang aneh dengan kursi tua ini. Akan tetapi, saat ia ingin bangkit dari kursi itu tiba-tiba tubuhnya susah untuk digerakkan.Kakinya pun terasa sangat berat, seakan-akan diikat dengan tali yang tidak terlihat.
Kemudian suara wanita muncul,berbisik di telinganya dan terasa dingin. “Mengapa kamu duduk di tempat ku?” Rendi menoleh, namun tidak ada siapa-siapa.Tubuhnya mulai gemetar, keringat dingin mengalir di pelipisnya, dan jantung yang terus berdetak kencang. Ia mencoba berteriak, namun suaranya tercekat di tenggorokan.
Suasana semakin larut malam dan semakin sunyi. Rendi melihat sosok bayangan yang tidak seharusnya ada di depan cermin besar. Bayangan seorang wanita bergaun putih dengan rambut terurai panjang, tetapi wajahnya tidak terlihat. Secara perlahan bayangan wanita itu bergerak mendekat ke cermin, lalu menghilang secara tiba-tiba.
Kemudian, Rendi akhirnya bisa berteriak dengan suara parau dan bibir bergetar. Pak Rusli pun terbangun mendengar suara Rendi dan berlari ke ruang tamu.Pak Rusli yang melihat Rendi sedang duduk di kursi itu wajahnya terlihat pucat dan menghela nafas panjang, penuh kesedihan.
“Aku kan sudah bilang jangan pernah duduk di kursi itu,” tegur Pak Rusli kepada Rendi. Kemudian, Rendi berhasil bangkit dari kursi tua itu dengan tubuh yang lemas. Sejak kejadian malam itu, Rendi menjadi jarang berbicara. Hanya ada satu hal yang Rendi katakan berulang kali dengan suara bergetar, “Dia menungguku di cermin…”
Kursi tua di sudut ruang itu tetap kosong,akan tetapi seolah-olah ada yang duduk di sana.