PuisiSastra

Lamunan Yang Terdiam

Karya Cholifia Nurchaliza

Hembusan angin membawaku menuju keindahanmu
Berjalan menyusuri kerinduan yang berkelok-kelok
Kerikil-kerikil mengiringi langkah ini
Pohon-pohon berdansa menyebar aroma rindu

Bumi pun bicara,
Betapa eloknya alam ini
Tempat yang begitu senyap bagaikan kehampaan
Bayangan-bayanganmu mengusik kalbuku

Artikel Terkait

Ohh alam,
Dibalik kerinduan yang menggebu-nggebu
Kau membuat pandanganku begitu terpukau
Dan terperosok sedalam-dalamnya

Aku terdiam memandang cahaya agung
Aku menginginkanmu membawaku setinggi awan
Yang melayang-layang di udara
Alam semesta dan kerinduan menyatu dalam sebuah cerita

Tuhanku,
Ciptaanmu begitu sempurna
Senja kian tenggelam
Gunung menjulang berpayung awan
Aku berdiri, berdiam, memendam kerinduan dalam sebuah rasa

Lara
Aku menatapya tajam
Dalam kegelapan malam, langit pun menyelimuti hati
Dunia kejam!, Kala hitam dan pekat menyelimuti

Kini rumah yang kuhuni
Sepi, sunyi, hampa
Ibu…Ayah…
Semuanya hilang bagai ditelan bumi

Hidup tapi seperti tak hidup
Ada tapi seperti tak ada
Kosong sapi seperti terisi

Hari di mana ketika aku menangisimu
Tetapi hari dimana juga ketika engkau mengabaikanku
Jatuh, rapuh, terlempar sejauh-jauhnya

Sedangkan engkau, pergi meninggalkanku
Berlai-lari jauh sejauh sang surya
Ibu…Ayah
Aku berselimut kelam, hidup bersama derita
Dan tangis memendam luka ini tanpa bicara

Anakku Bagai Malin Kundang
Anakku,
Deru ombak di bawah cakrawala tepi langit
Hembusan angin menyapu kulitmu dalam kapal untuk berlabuh
Tapi semua bagaikan belantara liar yang sia-sia

Kemana rembulanku?
Yang dulunya aku kasihi, aku sayangi sedalam lautan
Anakku, ingin sekali rasanya diri menjerit
Sungguh kejam dan sungguh hina

Butir-butir air mata menghitam hingga tanpa sadar
Waktu itu, hamparan laut diam tanpa suara
Kembali semula ombak membawa kepergianmu
Begitu sadis, begitu perih

Ketika hati kelabu
Sementara itu kulihat bumantara gelap
Keindahan awan seketika pekat Menyelimuti hati yang tersayat-sayat

Tuhanku
Berkenanlah engkau memihak padaku
Tidak ada lagi pilihan bagi
Kutuklah anakku, kutuklah tuhan

Cemara
Langkah kaki demi kaki menepak jalan
Jalan yang begitu menakjubkan
Aku yang terbawa arus dalam kenyamanan

Rumah ini, rasa ini, kasih ini
Aku begitu menyukainya
Sederhana, disini aku putri
Lintang pun ikut menari-nari di angkasa

Sinar matahari menyapu kabut dunia
Tak berkabut, juga tak merenung
Takdir ini adalah sebuah keberuntungan insan
Sungguh bahagia tidara tara

Kopi Tugo
Betapa nikmatnya kopi pagi hari
Sebatang rokok yang kuhisap
Tak kalah nikmat dengan kopi ini

Rintik hujan basahi pagi
Percikan air bersuara
Angin menyeruak kesana kemari

Namun aku tetap menikmati
Kehangatan secangkir kopi
Kala hujam mulai deras
Rumput-rumput yang mendayung-dayung

Ini mengenai kopi
Hitam kecoklatan, pekat membuatku terpikat
Rasanya manis, pahit begitu sempurna
Bagaikan dewi malam

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga
Close
Back to top button