
Oleh : Khansa Aisyatul Nabilla
Dimas duduk di bangku taman sekolah yang biasa mereka datangi. Pandangannya terpaku pada langit biru yang bersih tanpa adanya awan. Sejak pagi, langit itu mengingatkannya pada sesuatu yang sudah lama terlupakan, sesuatu yang kini terasa semakin jauh meski masih berpijak pada bumi yang sama.
Dimas mengingatnya dengan jelas, hari dimana pertama kali mereka berjumpa, saat itu mereka masih duduk di bangku kelas sepuluh. Laras, perempuan berambut panjang yang selalu terurai dengan senyumnya yang tak pernah pudar. Kehadirannya bagaikan sinar matahari yang selalu menghangatkan sekitarnya. Kepribadian Laras yang ramai dan dikelilingi banyak teman membuat Dimas sempat ragu mendekatinya. Karena Dimas sendiri memiliki kerpibadian yang cukup tertutup dan susah bergaul.
“Kenapa kamu selalu duduk sendiri?” tanya Laras saat itu, dengan nada suara yang tak memaksa, meski Dimas merasa malu dia hanya tersenyum tipis “Aku terkadang juga suka menyendiri. Kita bisa duduk bareng.” lanjutnya
Dimas hanya mengangguk, tak tahu harus berkata apa. Tapi sejak saat itu, Laras selalu ada. Mereka menjadi sahabat yang tak terpisahkan. Laras selalu datang dengan tawa dan kebahagiaan yang tak ada habisnya. Sementara Dimas, yang lebih sering diam merasa bahwa ia menemukan tempat di dunia ini. Tempat itu adalah keberadaan Laras.
Tapi kini, di tengah taman ini Dimas duduk sendiri. Tanpa adanya sosok perempuan dengan senyum sehangat mentari itu, Laras. Tanpa tawa yang selalu mengiringi hari-hari mereka. Laras tiba-tiba menghilang dua bulan lalu, tanpa ada kata perpisahan. Hanya sebuah pesan singkat yang mengatakan dia harus pindah ke kota lain karena ayahnya dipindahtugaskan. Laras berjanji akan kembali. Tapi janji itu kini terasa kosong, seiring dengan berjalannya waktu.
Dimas menundukkan kepala, dadanya terasa sesak. Laras tidak pernah tahu, bahwa di balik tawa yang selalu ia bawa, Dimas diam-diam menaruh perasaan lebih dari sekadar sahabat. Dan kini, saat Laras tak ada, Dimas merasa seperti kehilangan separuh dari dirinya.
Langit biru itu tetap bersinar cerah, namun hatinya terasa mendung. Dimas merasakan keheningan yang begitu dalam, seolah langit yang cerah itu menyembunyikan segala kesedihan yang ada di dalam dirinya.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Ada pesan masuk dari nomor yang sudah lama tidak ia lihat.
“Dimas, aku di sini.”
Hati Dimas mendadak berdegup kencang. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia membuka pesan tersebut.
“Aku di tempat biasa. Jangan marah ya, aku janji nggak akan pergi lagi. Laras.”
Dimas terdiam beberapa detik, tidak tahu harus bagaimana. Perasaannya campur aduk. Rasa rindu, bingung, dan cemas berbaur menjadi satu. Laras kembali. Setelah berbulan-bulan tanpa kabar, kini Laras menghubunginya. Tanpa pikir panjang, Dimas segera berlari menuju tempat yang biasa mereka datangi di bawah pohon yang rindang, tempat mereka biasa berbicara tentang mimpi-mimpi mereka.
Sesampainya di sana, Dimas melihat Laras duduk dengan tenang, memandang ke arah langit yang sama. Wajah Laras masih seperti dulu, senyumnya tetap bersinar, meski ada kesedihan yang tampak di matanya.
“Dimas…” Laras berkata pelan, suara yang penuh penyesalan. “Aku minta maaf. Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku pergi tanpa kata-kata karena aku takut. Takut kalau kamu tahu aku lebih dari sekadar sahabat. Dan aku takut kehilangan kamu.”
Dimas terdiam, mengamati Laras yang kini menundukkan kepalanya. Ia merasakan sesuatu yang lama terpendam di dalam hati, perasaan yang sebenarnya sudah ada sejak lama, bahkan sebelum Laras menghilang. Namun, Dimas tidak tahu harus bagaimana mengungkapkannya.
Langit di atas mereka tetap biru, dan waktu seakan berhenti. Memberi kesempatan bagi keduanya untuk saling memahami.
Dimas akhirnya membuka suara, dengan suara yang hampir berbisik. “Laras, aku juga merasa begitu. Tapi aku takut jika aku mengungkapkan perasaanku, aku akan merusak semuanya. Tapi, langit ini… tetap biru, kan? Bahkan jika kita berubah, langit ini tetap ada untuk kita.”
Laras menatap Dimas dengan mata penuh harapan. “Aku ingin kita mulai lagi, Dimas. Kali ini, tidak ada yang pergi.”
Dimas tersenyum, hatinya hangat. Sesak yang ia rasakan mendadak hilang. “Kali ini, aku janji aku tidak akan pergi.”
Mereka duduk bersama di bawah pohon yang sama, dengan langit biru yang tak pernah berubah. Tidak ada kata-kata yang perlu diucapkan lagi, hanya kedekatan yang tak terungkapkan, dan sebuah perasaan yang akhirnya ditemukanbahwa persahabatan, bahkan jika berubah, tetap bisa bertahan.