Oleh : Fitria Agustin Indah Yulianti
Aku menatap selembar kertas di hadapanku. Tulisan tanganku yang berantakan memenuhi hampir seluruh permukaannya. Daftar impian, begitu aku menyebutnya. Sudah hampir lima tahun kertas itu kusimpan di laci meja belajarku, terlipat rapi namun nyaris terlupakan.
“Menjadi penulis terkenal,” kubaca salah satu impian yang tertulis di sana. Aku tersenyum getir. Usia 27 tahun dan masih bekerja sebagai staf administrasi di sebuah perusahaan kecil, jauh dari kata “penulis terkenal”.
Setiap pagi aku terbangun dengan rutinitas yang sama. Berangkat pukul tujuh, pulang pukul lima, dan menghabiskan malam dengan menonton televisi atau bermain ponsel. Tidak ada kemajuan, tidak ada langkah nyata untuk mewujudkan impianku.
Suatu hari, Pak Rahman, tetanggaku yang sudah pensiun, menyapaku saat aku sedang duduk termenung di teras rumah.
“Kenapa murung, Nak Rani?” tanyanya sambil duduk di sampingku.
Entah mengapa, aku merasa perlu berbagi kegelisahanku dengannya. “Saya punya banyak impian, Pak. Tapi sepertinya tidak ada yang terwujud.”
Pak Rahman tersenyum bijak. “Kamu tahu pohon jati di belakang rumahku?”
Aku mengangguk. Pohon jati itu memang sangat besar dan kokoh.
“Pohon itu saya tanam 30 tahun lalu. Hanya sebatang bibit kecil. Setiap hari saya siram, saya rawat dengan sabar. Tidak ada perubahan drastis yang terlihat setiap harinya. Tapi lihat sekarang, sudah menjadi pohon yang begitu kokoh.”
Aku mulai menangkap makna dari cerita Pak Rahman.
“Impian itu seperti pohon jati, Nak. Butuh konsistensi dan kesabaran. Langkah kecil yang konsisten setiap hari akan membawamu lebih dekat dengan impianmu dibandingkan langkah besar yang hanya kamu lakukan sesekali.”
Kata-kata itu menggugah sesuatu dalam diriku. Malam itu, aku membuka laptop yang sudah lama tidak kugunakan untuk menulis. Jemariku mulai menari di atas keyboard, menuliskan sebuah cerpen pendek tentang kehidupan sehari-hari.
Esok harinya, aku mengirimkan cerpen itu ke sebuah blog komunitas penulis. Tidak ada yang istimewa, tapi itu adalah langkah pertamaku.
Hari-hari berikutnya, aku mulai rutin menulis setidaknya satu paragraf setiap malam sebelum tidur. Terkadang hanya beberapa kalimat, terkadang beberapa halaman. Yang terpenting, aku konsisten melakukannya.
Tiga bulan berlalu. Salah satu cerpenku mendapat tanggapan positif dari komunitas. Seorang editor majalah lokal yang kebetulan membaca karyaku menawarkan untuk menerbitkannya.
Enam bulan kemudian, aku mendapat tawaran untuk menulis kolom mingguan di majalah tersebut. Gaji dari pekerjaanku sebagai staf administrasi masih menjadi sumber penghasilan utama, tapi kini aku punya penghasilan tambahan dari menulis.
Satu tahun berlalu. Aku mulai menulis novel pertamaku, dikerjakan sedikit demi sedikit setiap malam. Dua tahun kemudian, novel itu terbit dan mendapat sambutan yang cukup baik.
Kini, lima tahun setelah percakapanku dengan Pak Rahman, aku duduk di teras rumahku sendiri, menatap pohon jati yang kutanam di halaman depan dua tahun lalu. Masih kecil, tapi tumbuh sehat. Di tanganku ada kontrak untuk menulis skenario film dari novel keduaku yang menjadi bestseller nasional.
Aku membuka kembali kertas lusuh berisi daftar impianku. Di samping tulisan “Menjadi penulis terkenal”, kini ada tanda centang kecil yang kubuat dengan pena.
Pak Rahman benar. Langkah kecil yang konsisten setiap hari telah membawaku ke tempat yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Bukan tentang melompat jauh dalam sekali waktu, tapi tentang bergerak maju selangkah demi selangkah setiap hari, tanpa pernah berhenti.
Dan itulah kekuatan dari konsistensi dalam mengejar impian.