Langkah Kuda, Irama Jiwa: Jaran Kepang sebagai Cermin Budaya Temanggung

Oleh : Ratna Sari

Seni pertunjukan tradisional jaran kepang, atau yang juga dikenal sebagai kuda lumping, merupakan bagian tak terpisahkan dari warisan budaya masyarakat Temanggung. Kesenian ini tidak hanya berfungsi sebagai hiburan rakyat, tetapi juga menyimpan nilai-nilai spiritual, historis, dan sosial yang tinggi. Di tengah modernisasi dan arus budaya luar, jaran kepang masih tetap bertahan dan menjadi kebanggaan banyak desa di Temanggung.

Jaran kepang dimainkan oleh sekelompok penari, baik laki-laki maupun perempuan, yang menari sambil menunggangi anyaman bambu berbentuk kuda. Iringan musik gamelan yang menghentak, suara kendang, gong, dan suling menciptakan suasana magis. Tak jarang, para penari mengalami trance atau kerasukan, kemudian melakukan atraksi seperti makan beling, berjalan di atas bara api, atau gerakan tidak sadar lainnya. Fenomena ini dipercaya sebagai bentuk masuknya roh leluhur atau kekuatan supranatural.

Pertunjukan jaran kepang sering dipentaskan dalam berbagai acara adat seperti merti desa, syukuran panen, hajatan, hingga peringatan hari besar. Jaran kepang bukan hanya seni pertunjukan biasa, melainkan memiliki peran spiritual yang dalam di tengah kehidupan masyarakat pedesaan.

Kearifan lokal dalam jaran kepang juga terlihat dalam proses pelestariannya. Banyak kelompok seni jaran kepang di Temanggung yang diwariskan secara turun-temurun. Anak-anak dan remaja mulai diajak belajar sejak usia dini, baik tentang tariannya, iringan musik, maupun makna filosofisnya. Pemerintah desa dan komunitas budaya juga sering mengadakan festival atau lomba jaran kepang untuk menjaga eksistensinya di tengah gempuran budaya modern.

Jaran kepang adalah simbol kuat dari identitas budaya Temanggung. Ia bukan sekadar tarian, tetapi cerminan dari hubungan manusia dengan alam, leluhur, dan sesama. Dengan terus melestarikan kesenian ini, masyarakat Temanggung tidak hanya menjaga tradisi leluhur, tetapi juga menguatkan nilai-nilai kebersamaan, spiritualitas, dan cinta terhadap budaya sendiri. Warisan ini perlu terus hidup, dikenalkan pada generasi muda, dan dijaga keberlanjutannya di tengah arus zaman.

Exit mobile version