Lompat Kotak Persahabatan

oleh : Ratna Sari

Matahari siang itu bersinar hangat, menyinari halaman belakang rumah Alif yang cukup luas dan berdebu. Di atas tanah yang agak keras, tampak garis-garis kapur membentuk kotak-kotak berurutan—itu adalah arena engklek yang baru saja digambar oleh Fadli dengan penuh semangat.

“Ayo cepetan, siapa duluan?” seru Fadli, menggenggam pecahan genteng kecil yang akan digunakan sebagai gaco.

Alif dan Al Fath saling pandang, lalu tertawa.

“Al Fath dulu, dia paling jago,” kata Alif, menyenggol bahu sahabatnya itu.

Al Fath, anak pendiam yang jarang banyak bicara, hanya mengangguk dan maju. Ia melempar gaco ke kotak pertama dengan tepat, lalu melompat satu kaki dengan lincah, menghindari kotak tempat gaconya berada. Ia menyelesaikan satu putaran dengan mulus.

“Seperti biasa, juara bertahan,” gumam Fadli sambil bertepuk tangan kecil.

Alif pun mencoba. Kali ini gaconya sempat menyentuh garis, membuat Fadli berseru, “Ulang! Ulang! Kena garis tuh!”

“Aduh, aku grogi!” keluh Alif sambil tertawa.

Meski saling meledek, ketiganya bermain penuh semangat. Giliran demi giliran berjalan, tawa dan teriakan kecil mewarnai halaman yang biasanya sepi. Mereka bukan hanya bermain, tapi juga saling belajar bersabar, sportif, dan menghargai giliran.

Saat matahari mulai miring ke barat dan bayangan makin panjang, Alif berhenti melompat dan duduk di pinggir lapangan engklek. Napasnya terengah, tapi wajahnya berseri.

“Kalau begini terus, liburan kita nggak bakal membosankan,” katanya.

“Iya, kita harus main setiap sore. Engklek ini nggak kalah seru dari game di HP,” sahut Fadli, menyimpan gaconya.

Al Fath mengangguk. “Dan kita jadi lebih akrab. Main bareng gini bikin aku ngerasa… punya saudara.”

Ucapan itu membuat mereka semua diam sejenak. Lalu Alif tersenyum dan menepuk pundak dua sahabatnya.

“Kalau gitu, mulai besok kita buat turnamen engklek. Siapa menang lima kali berturut-turut, ditraktir es teh manis!”

“Deal!” sahut Fadli dan Al Fath bersamaan.

Langit mulai berubah warna. Tapi di halaman belakang rumah itu, jejak-jejak kaki di atas kotak-kotak kapur menjadi saksi lahirnya kisah persahabatan yang semakin kuat—semua bermula dari sebuah permainan sederhana: engklek.

Exit mobile version