ArtikelOpini

Malam Satu Suro: Mistisisme Keheningan Malam Tahun Baru Jawa

Oleh Masrurotul Fuadah

Masyarakat Jawa masih melestarikan tradisi tahunan untuk merayakan malam satu suro. Malam satu suro biasanya dirayakan di tengah Kota dengan diiringi arak-arakan.

Malam satu suro merupakan malam dimana pergantian tahun menurut penanggalan Jawa. Dalam kalender islam malam satu sura bertepatan dengan tanggal 1 Muharram.

Merayakan malam satu suro menjadi tradisi yang tidak bisa dihilangkan dari kebiasaan orang Jawa. Namun, tidak semua kota yang ada di Jawa Tengah melakukan arak-arakan. Di setiap daerah memiliki cara yang berbeda-beda dalam merayakan malam satu sura. Ada yang merayakan dengan mengadakan pengajian, barian, pawai, arak-arakan, puasa, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Dilansir dari gramedia, bahwa masyarakat Jawa menyakini bulan sura merupakan bula yang suci. Hal ini, karena bulan sura atau bulan Meharram merupakan bulan yang dimuliakan oleh Allah.

Masyarakat Jawa mulai merayakan malam satu sura Ketika terdengar adzan magrib atau saat matahari mulai terbenam. Pada waktu tersebut kebanyakan orang tua melarang anaknya untuk keluar rumah jika tidak ada urusan yang sangat penting. Hal ini karena, mereka menganggab di waktu tersebut akan ada banyak balaq yang menghampiri.

Awal mula penamaan bulan suro terjadi pada masa kerajaan Demak. Pada saat itu Sunan Giri melakukan perubahan dari penanggalan hijriyah (penanggalan isalam) ke penanggalan Jawa. Alasan dilakukan perubahan penanggalan yaitu untuk menyatukan masyarakat Jawa untuk melawan penjajahan Belanda yang pada saat itu menduduki Batavia.

Di wilayah Jawa Tengah yang selalu dinantikan oleh masyarakat terkait perayaan malam satu suro yaitu di kota Solo dan Yogyakarta. Kedua kota tersebut memiliki keunikan dalam merayakan malam satu suro.

Perayaan malam satu suro di Solo ada kegiatan arak-arakan kebo bule. Kebu bule tersebut merupakan hewan warisan dari keraton. Masyarakat Solo menyakinin bahwa kebu tersebut merupakan kebo keramat.
Berbeda dengan Solo, malam satu sura di Yogyakarta dirayakan dengan arak-arakan keris pusaka. Selain itu juga terdapat gununganhasil bumi yang ikut di dalam prosesi arak-arakan.

Selain perayaan juga terdapat tradisi lainnya diantaranya yaitu tradisi Jamasan Pusaka atau Ngumbah Keris. Tradisi ini ada di Yogyakarta tepatnya di keraton Yogyakarta. Tradisi ini dilakukan untuk mensucikan atau membersihkan pusaka. Pusaka tersebut terdiri dari senjata, kereta perang, perlengkapan berkuda, bendera,tumbuh-tumbuhan, gamelan, aksara, dan yang lainnya. Tujuan dilakukannya Jamasan Pusaka ini yaitu untuk menghormati barang-barang warisan yang ada di keraton.

Selain itu, di Keraton Yogyakarta juga melakukan tradisi Tapa Bisu. Tradisi ini dilakukan dengan mengelilingi keraton dengan tidak berbicara satu kata pun. Awal mula tradisi ini dari Sri Sultan Hamengkubuwono ke II. Prosesi ini diawali dengan nyanyian lagu macopat oleh abdi dalem dan dilanjutkan dengan doa/harapan dalam kata-kata balada lagu macapat.

Dari sekian banyak tradisi yang dilakukan di malam satu sura tetap yang menjadi point utama adalah memperbanyak doa, ibadah, dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Tradisi-tradisi dan juga ritual yang sudah dijelaskan merupakan pelengkap dalam perayaan malam satu sura.

Maka dari itu, sebagai warga negara yang baik kita sepatutnya menghargai setiap tradisi yang ada. Jangan pernah mengolok-olok tradisi yang satu dengan tradisi yang lain. Keberagaman ini lah menjadikan bangsa Indonesia kaya dalam hal kebudayaan daerah.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button