ArtikelOpini

Membangun Paradigma Kelimuan Takatuful Ulum

Oleh Aeidha Zulfiyani

Mahasiswa Prodi PIAUD Fakultas Tarbiyah dan Keguruan INISNU Temanggung

 

BIODATA BUKU

Judul: MEMBANGUN PARADIGMA KEILMUAN KETUPAT ILMU: Integrasi-kolaborasi, collaboration of science, Takatuful ulum, Kolaborasi ilmu

Pengarang: Hamidulloh Ibda

Editor  : Khamin Saifudin & Moh. Syafi

Pengarah: Drs. KH. Muhammad Muzamil. KH. Hudallah Ridwan Naim, Lc., KH.       Yacub Mubarok. Kh. Muhammad Furqon Masyhuri, Dr. Sugi. M.Pd., R. Andi Irawan, M.Ag

Penerbit: YAPTINU Temanggung, 2021

ISBN     : 978-623-96062-0-6

Cetakan : 1 Januari 2021

Tebal    : 221 Halaman

Desain Cover: Wahyu Egi Widayat

Paradigma keilmuan pada intinya menjadi sebuah cara pandangan perguruan tinggi dalam menentukan berbagai macam kegiatan akademik maupun non akademik. Ketupat ilmu mengacu kepada model paradigma keilmuan intregasi-kolaborasi dan skema anyaman ilmu, collaboration of science, takatuful ulum, yang intinya mengerakkan bersamaan, atau bergerak ganda (double movement) antara agama dengan ilmu pengetahuan.

Mengacu pada paradigma adalah kerangka berpikir atau model yang digunakan untuk memahami dan memproses informasi. Paradigma dapat diartikan sebagai keyakinan atau kepercayaan yang mendasari tindakan seseorang, dan dapat mempengaruhi cara berpikir dan bersikap dalam buku ini disebutkan bahwa paradikma menjadi bagian penting dalam membangun dan mengembangkan sebuah lembaga. Dalam konteks pendidikan anak usia dini (PAUD), paradigma pembelajaran baru mencakup: Pemetaan standar kompetensi, Merdeka belajar. Asesmen kompetensi minimal.

Dari pemaparan fungsi yang disebutkan dalam buku ini bisa disimpulkan Paradigma memiliki fungsi sebagai kerangka berpikir yang menjadi dasar seseorang untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Paradigma juga dapat diartikan sebagai model dalam teori ilmu pengetahuan yang sangat urgent dan penting.

Ilmu pengetahuan memiliki relasi dengan berbagai hal. Ilmu pengetahuan merupakan sekumpulan pengetahuan yang disusun secara sistematis, menggunakan metode keilmuan, dan memiliki nilai guna tertentu. Ilmu pengetahuan memiliki fungsi untuk menjelaskan, meramalkan, dan mengontrol.

Pendidikan Anak Usia Dini menurut perspektif islam mencakup prinsip mendahulukan penanaman aqidah, menuntun dan menuntut aktualisasi ibadah, pembinaan akhlak mulia danmelatih kemandirian serta prinsip keseimbangan antara dunia dan akherat serta prinsipkeseimbangan antara ilmu dan amal.

Dari pemaparan fungsi yang disebutkan dalam buku ini bisa disimpulkan Paradigma memiliki fungsi sebagai kerangka berpikir yang menjadi dasar seseorang untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Paradigma juga dapat diartikan sebagai model dalam teori ilmu pengetahuan yang sangat urgent dan penting.

Setelah menyelesaikan pendidikan sarjananya, Al-Alwani kembali ke Irak dan menjadi letnan di Cadangan Militer Irak. Ia mengajar di Akademi Militer Irak di Baghdad dan menjadi profesor di Fakultas Studi Islam selama 6 tahun. Ia kembali ke al-Azhar di Mesir dan meraih gelar doktor. Ia kemudian mengajar di Universitas Imam Muhammad ibn Saud di Riyadh, Arab Saudi selama 10 tahun sebelum ia memutuskan untuk berimigrasi ke Amerika Serikat pada tahun 1983 dan menetap di Virginia Utara selama 23 tahun.

Ilmu pengetahuan memiliki relasi dengan berbagai hal. Ilmu pengetahuan merupakan sekumpulan pengetahuan yang disusun secara sistematis, menggunakan metode keilmuan, dan memiliki nilai guna tertentu. Ilmu pengetahuan memiliki fungsi untuk menjelaskan, meramalkan, dan mengontrol.

Proses ini juga merupakan hasil riset, FGD, uji pakar serta diseminasi dengar berbagai forum. Pradigma keilmuan menjadi bagian penting dalam membangun dan mengembangkan perguruan tinggi, Mulai perguruan tinggi di bawah Kemendikbud, Kemenag, atau peguruan tinggi akademik maupun volasi yang bersetatus negri maupun swasta, khususnya dalam konteks ini adalah perguruan tinggi keagamaan.

Pradigma adalah kesimpulan keyakinan dasar untuk mengarahkan tindakan penelitian ilmiah, sebagai sekumpulan sistem keyakinan dasar atau asumsi-asumsi dasar, pradigma memuat asumsi ontologis, epistemologis dan aksiologis. Buku “ Structure of Scientific Revolutions” menjadi awal berkembangnya istilah paradigma dimulai pada tahun 1962 yang dikreasi seorang asal Cincinnati, Ohalo, dia adalah Thomas Khun.

Menurut Khun ilmu bergerak melalui tahapan-tahapan  yang berpuncak pada kondisi normal dan kemudian “membusuk”  karena telah digantikan ilmu atau paradigma baru. Selanjutnya paradigma baru mengancam paradigma lama yang sebelumnya juga menjadi paradigma baru. Paradigma dalam bahasa Yunani para digma, dari pada (disamping, disebelah dan dekyani)  memperlihatkan : yang berarti model, contoh, arketipe, ideal.

Paradigma  ilmu pengetahuan merupakan seperangkat kepercayaan atau keyakinan dasar yang menentukan seseorang dalam melakukan tindakan, dari berbagai sudut pandang untuk mendapatkan kebenaran atau validitas.

Paradigma merupakan aspek yang penting dalam proses keilmuan dan dijadikan keyakinan untuk menentukan seseorang dalam bertindak pada kehidupan sehari hari sehingga dapat membentuk citra subjektif seseorang mengenai realita.

Perkembangan paradigma keilmuan baru (new paradigma), akan dapat ditemukan signifikansinya jika berlanjut dengan adanya tren baru, untuk tidak dikatakan pola baru. Pola pengembangan riset, maupun dalam bentuk karya-karya sivitas akademikanya.

Hasil diskusi yang dilakukan Tim Konversi STAINU menjadi INISNU, menemukan beberapa isu bahkan realitas terbaru yang mengharuskan adanya paradigma keilmuan meliputi :

  1. Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0
  2. Merdeka Belajar-Kampus Merdeka
  3. Peraturan Pemerintah (PP) Nomer 46 Tahu 2019 tentang Pendidikan Tinggi Keagamaan

Maksud Paradigma keilmuan yang dibangun pra dan lasca KMA INISNU bahkan UNISNU Temanggung ini memiliki beberapa alasan :

  1. Agar tidak bebas nilai
  2. Menghilangkan dikotomi ilmu-agama
  3. Tidam kehilanga arah sesuai manhajul fikr ( metode berpikir) Aswaja Annahdliyah
  4. Peciri dan pemeda dengan PT lain
  5. Menjadi dasar pelaksaan Tri Dharma Pt

Tanpa paradigma keilmuan yang jelas, akan lahir fenomena tercerabutnya perguruan tinggi yang melepaskan tradisi keilmuan yang menjadi ruh atau dasarnya.

Munculnya gagasan “menikahkan” atau mendudukan bersama ilmu pengetahuan dan agama berawal adanya “dikotomi” antara ilmu pengetahuan dan agama. Dalam tradisi keilmuan di dunia Islam adanya dikotomi ilmu bukanlah hal baru. Dalam karya-karya Islam klasik telah ditemukan dikotomi ilmu, seperti yang dilakukan oleh al-Ghazali (w. 111 M.) yang membagi ilmu syar’iyyah dan ghayr syar’iyyah, dan Ibnu Khaldun (w. 1406 M.) yang membagi al-‘ulum al naqliyyah dan al-‘ulum al ‘aqliyyah. Dikotomi ini masih bisa ditolelir, karena para ilmuwan saat itu tetap mengakui validitas dan status ilmiah masing-masing

Di Indonesia sendiri, pada masa penjajahan terjadi dikotomi keilmuan, yaitu ilmu pengetahuan agama Islam) yang diajarkan di pondok pesantren dan ilmu pengetahuan umum (modern) yang diajarkan sekolah-sekolah yang didirikan Belanda. Keadaan ini kemudian melahirkan masalah serius dengan dampak yang sangat besar, yaitu dominasi ilmu pengetahuan modern (sains) dari Barat atas ilmu pengetahuan agama yang berbasis pondok pesantren. Dalam kacamata sejarah, tidak dapat dimungkiri telah terjadi dikotomi antara ilmu pengetahuan dan agama.

Ilmu dan kehidupan manusia adalah bagaikan kepala dalam jasad. Allah Swt memberikan keistimewaan kepada Adam dan memerintahkan malaikat untuk sujud kepadanya, adalah karena kesiapan Adam untuk belajar dan keberhasilannya untuk mendapatkan ilmu yang diberikan Allah Swt dan tidak didapatkan oleh para malaikat Ilmu juga sebagai perantara untuk mengetahui segala sesuatu dan potensi alam dan mampu mempergunakannya dalam kemaslahatan manusia.

Antara filsafat dan ilmu memiliki tujuan yang sama, yaitu mencari kebenaran. Dari aspek sumber, filsafat dan ilmu memiliki sumber yang sama, yaitu akal atau rasio. Sebab, akal manusia terbatas, yang tak mampu menjelajah wilayah yang metafisik, maka kebenaran filsafat dan ilmu dianggap relatif, nisbi. Sementara agama bersumber dari wahyu, yang kebenarannya dianggap absolut, mutlak. Dari aspek objek, filsafat memiliki objek kajian yang lebih luas dari ilmu.

Jika ilmu hanya menjangkau wilayah fisik (alam dan manusia), maka filsafat menjangkau wilayah bail fisik maupun yang metafisik (Tuhan, alam dan manusia). Tetapi jangkauan wilayah metafisik filsafat (sesuai wataknya rasional-spekulatif) membuatnya tidak bisa disebut absolut kebenarannya. Sementara agama (baca: agama wahyu) dengan ajaran-ajarannya yang terkandung dalam kitab suci Tuhan, diyakini sebagai memiliki kebenaran mutlak. Agama dimulai dari percaya (iman), sementara filsafat dan ilmu.

Taha Jabir al-Alwani memiliki pendapat lain. Menurutnya, islamisasi ilmu pengetahuan merupakan. usaha mengenalkan kembali keagungan Alquran kepada seluruh dunia. Keagungan Alquran menurut dia, memiliki konsepsi universal, alternatif, epistemologis, dan sistematis. Tujuan islamisasi ilmu menurut dia ada empat:

  1. Membangun pokok-pokok sistem epistemologi muslim kontemporer dari Alquran
  2. Membangun metode sesuai Alquran dan assunnah sebagai sumber ilmu pengetahuan, pemikiran, dan peradaban
  3. Membangun metode-metode sesuai peninggalan-peninggalan muslim klasik yang dapat meningkatkan peniruan pelajaran dari kekacauan di zaman- zamanny
  4. Membangun metode-metode berdasarkan legalitas modern, yang dapat memunculkan interaksi dengan pemikiran dan peradaban modern global dan memecahkan masalahnya

Ismail Raji al-Faruqi memiliki pendapat berbeda. Menurut dia, proses islamisasi ilmu dimulai dengan dikenakannya secara langsung terhadap bidang ilmu yang bersangkutan. Ia memerinci 12 langkah untuk melakukan islamisasi ilmu:

  1. Penguasaan disiplin modern (prinsip, metodologi, masalah, tema, perkembangannya)
  2. Peninjauan disiplin ilmu
  3. Penguasaan ilmu warisan Islam (ontologi)
  4. Penguasana ilmu warisan Islam dari sisi antologis
  5. Penentuan relevansi Islam yang tertentu kepada suatu disiplin ilmu
  6. Penilaian kritis disiplin modern untuk memperjelas kedudukan disiplin terhadap langkah yang harus diambil untukmenjadikannya bersifat islami
  7. Penilaian kritis ilmu warisan Islam, seperti pemhaman atas Alquran dan Sunnah
  8. Kajian dan penelitian masalah utama umat Islam
  9. Kajian tentang masalah pokok yang membelit manusia sedunia
  10. Melahirkan analisis dan sintesis yang kreatif
  11. Pengacuan kembali disiplin dalam kerangka Islam (kita-kitab utama teks dalam universalitas)
  12. Memasarkan dan menyosialisasikan ilmu- ilmu yang sudah diislamkan.

Ziaudin Sardar berpandangan munculnya islamisasi ilmu karena kebutuhan umat Islam sendiri terhadap “sains Islam”. Dikarenakan kebutuhan dan prioritas itulah perlu adanya islamisasi ilmu. Jika tidak ada, maka umat Islam hanya akan menjadikan bagian dari kebudayaan dan peradaban lain (Barat).

Sementara Nidhal Guessoum membawa kita untuk kembali kepada latar belakang atas urgensi islamisasi ilmu. Pertama, kegagalan para pembaharu muslim modern untuk menghasilkan renaisan peradaban” yang sebenarnya. Kedua, kritik para postmodern terhadap kegagalan peradaban barat. Muara islamisasi ilmu ini mengarah pada kebangkitan peradaban muslim dan mengubah seluruh aspek kemanusiaan dari Alquran. Dari penjelasan dan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa islamisasi ilmu (pengislaman ilmu) menjadi bagian penting yang harus dilakukan perguruan tinggi, khususnya PTKIS di bawah Kemenag.

Gagasan pengilmuan Islam lahir dari keprihatinan terhadap ilmu modern Barat yang melenceng dari semangat Renaissans yang pada mulanya bertujuan memanusiakan manusia, malah yang terjadi dehumanisasi dan sekularisasi. Pengilmuan Islam juga bermaksud merespons gagasan Islamisasi ilmu, yang dipandang sebagai sebuah tekstualisasi, yakni menjadikan ilmu-ilmu Barat selaras dengan Islam (baca: teks).

Pengilmuan Islam bermaksud menempatkan Islam (teks Alquran) sebagai sebuah paradigm dalam memotret realitas. Apabila Islamisasi merupakan upaya untuk mengalihkan konteks kepada teks, maka pengilmuan Islam sebaliknya, yaitu bagaimana teks yang normatif diarahkan kepada konteks.39 Pemaknaan islamisasi ilmu yang diungkap sejumlah tokoh termasuk Naquib al-Attas pada era 1970-an dikritik Kuntowijoyo.

Dalam pendapat itu, Islam hanya digunakan sebagai upaya alat sterilisasi terhadap perkembangan ilmu modern. Dengan kata lain, definisi tersebut belum mencapai substansi Islam sesungguhnya. Hal ini menimbulkan anggapan bahwa Islam hanya lebih memilih bersikap defense (bertahan) terhadap perkembangan ilmu

Pengilmuan Islam merupakan pengembangan lebih lanjut dari upaya menempatkan Alquran sebagai sumber utama rujukan umat Islam. Alquran ditempatkan dalam posisi simetris dengan alam dan juga manusia, yakni sebagai sumber ilmu.

Ada dua metodologi yang dipakai dalam proses pengilmuan Islam, yaitu integralisasi dan objektivikasi. Pertama, integralisasi adalah pengintegrasian kekayaan keilmuan manusia dengan wahyu (petunjuk Allah dalam Alquran beserta pelaksanaannya dalam Sunnah Nabi). Kedua, objektivikasi ialah menjadikan pengilmuan Islam sebagai rahmat untuk semua orang (rahmatan lillalamin).

Kondisi inilah yang tidak disetujuioleh Kuntowijoyo dalam ungkapan awalnya dalam buku Islam sebagai Ilmudengan mengatakan bahwa: “Saya tidak lagi memakai “Islamisasi pengetahuan”, dan ingin mendorong supaya gerakan intelektual umat sekarang ini melangkah lebih jauh, dan mengganti “Islamisasi pengetahuan menjadi “pengilmuan Islam”. Dari reaktif menjadi proaktif pengilmuan Islam adalah proses, paradigma Islam adalah hasil, sedangkan Islam sebagai ilmuadalah proses dan hasil sekaligus.

Gagasan islamisasi ilmu pengetahuan pada hakikatnya muncul sebagai respon atas dikotomi antara ilmu agama dan sains yang dimasukkan Barat sekuler dan budaya masyarakat modern ke dunia Islam.40 Pada dasarnya, konsep pengilmuwan Islam adalah bagaimana membangun ilmu yang sudah ada dalam teks ajaran Islam. Jika Islamisasi itu arusnya dari konteks ke konteks, maka pengilmuan Islam sebaliknya, dari teks ke konteks.

HAL Alquran dan Sunnah yang bersifat universal dan kaffah ini mengisyaratkan bangunan teori-teori yang dibutuhkan manusia. Bangunan teori atau grand theory ini nantinya bisa dikembangkan menjadi sebuah ilmu yang relevan dengan realitas yang ada. Di sinilah kemudian dibutuhkan apa yang oleh Kuntowijoyo disebut perumusan teori dengan paradigma Alquran.

objektivikasi adalah suatu tindakan yang didasarkan nilai-nilai agama, akan tetapi disublimasikan dalam suatu tindakan objektif, sehingga diterima semua orang. Tujuannya adalah untuk semua orang, melintasi batas-batas agama, budaya, suku, dan lainnya.

Dalam istilah Kuntowijoyo, objektivikasi adalah penerjemahan nilai-nilai internal ke dalam kategori-kategori objektif. Ada empat hal yang akan dibicarakan, yaitu (1) mengenai tujuan akhir paradigma Islam, (2) keterlibatan umat (Paradigma Islam) dalam sejarah, (3) methodological objectivism, dan (4) sikap paradigina Islam terhadap ilmu-ilmu sekuler.

Hal ini adalah gerakan dari teks ke konteks. Objektivitas ilmu yang dituntut lewat pengilmuan Islamnya membuat baju dan atribut Islam yang melekat pada sistem, siyasah, dan objek lain harus dilepaskan nilai Islam menjadi baik bukan karena atribut Islamnya, akan tetapi karena kebaikan nilai itu sendiri.

Ilmu pun dilepaskan dari label Islam, namun Islam lah yang ditarik dalam lingkaran keilmuan, sehingga kebaikan yang ditimbulkan oleh ilmu bukan karena label Islamnya, namun karena disesuaikannya Ilmu dengan nilai-nilai kelslaman, pengilmuan Islam mempunyai dua metodologi yaitu integralisasi dan objektifikasi yang bertujuan mengakrabkan antara Islam dan ilmu untuk untuk mencegah ilmu sekuler masuk dan menyebar di tengah masyarakat muslim.

Kelebihan dari Membangun Paradigma Keilmuan Ketupat Ilmu dalam konteks Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) :

  1. Integrasi Agama dan Ilmu Pengetahuan:

Paradigma Ketupat Ilmu mengedepankan integrasi antara ilmu pengetahuan dan nilai-nilai agama, yang sangat relevan dalam pendidikan anak usia dini, di mana pembentukan karakter dan moral anak menjadi prioritas utama.

2 .Model Kolaboratif:

Pendekatan kolaborasi dalam Ketupat Ilmu memungkinkan penggabungan berbagai disiplin ilmu, yang dapat memperkaya metode pengajaran di PAUD. Ini membantu pendidik untuk mengembangkan kurikulum yang lebih holistik dan inovatif.

  1. Metodologi yang Fleksibel:

Paradigma ini menawarkan metodologi yang fleksibel dan adaptif, sehingga dapat disesuaikan dengan kebutuhan spesifik anak-anak di PAUD. Hal ini memungkinkan pendidik untuk menggunakan berbagai pendekatan dalam proses belajar mengajar.

4.Peningkatan Kreativitas:

Dengan mengintegrasikan berbagai sumber ilmu, paradigma Ketupat Ilmu mendorong peningkatan kreativitas baik pada pendidik maupun anak didik. Pendidik dapat merancang aktivitas yang lebih menarik dan interaktif, yang mendukung perkembangan kognitif dan emosional anak.

5.Pengembangan Karakter Sejak Dini:

Fokus pada kolaborasi antara ilmu pengetahuan dan nilai-nilai spiritual membantu dalam pengembangan karakter anak sejak dini, membentuk individu yang tidak hanya cerdas secara akademis tetapi juga berakhlak baik.

6.Sumber Referensi yang Kaya:

Buku ini menyediakan berbagai model paradigma keilmuan yang dapat dijadikan referensi bagi pendidik di PAUD untuk memahami dan menerapkan pendekatan yang lebih baik dalam pengajaran mereka

Kekurangan dari Membangun Paradigma Keilmuan Ketupat Ilmu dalam konteks Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) :

  1. Implementasi yang Rumit:

Paradigma Ketupat Ilmu mengharuskan integrasi berbagai disiplin ilmu, yang bisa menjadi rumit dalam pelaksanaannya di PAUD. Pendidik mungkin mengalami kesulitan dalam menggabungkan berbagai pendekatan dan metode pengajaran yang berbeda secara efektif.

  1. Kurangnya Pemahaman di Kalangan Pendidik:

Beberapa pendidik mungkin belum sepenuhnya memahami konsep dan prinsip dari paradigma ini, sehingga dapat mengakibatkan penerapan yang tidak konsisten atau kurang tepat dalam proses belajar mengajar12.

  1. Fokus Terlalu Besar pada Teori:

Terdapat risiko bahwa paradigma ini lebih menekankan pada aspek teoritis daripada praktik, sehingga anak-anak mungkin tidak mendapatkan pengalaman belajar yang cukup praktis dan aplikatif. Hal ini dapat menghambat perkembangan keterampilan motorik dan sosial mereka.

  1. Keterbatasan dalam Pengembangan Kecerdasan Jamak:

Meskipun paradigma ini bertujuan untuk mengembangkan kecerdasan jamak, observasi menunjukkan bahwa kegiatan yang dilakukan di PAUD sering kali belum optimal dalam merangsang semua aspek kecerdasan anak, seperti kognitif, sosial-emosional, dan bahasa1.

  1. Tantangan dalam Penilaian:

Penilaian hasil belajar berdasarkan paradigma ini bisa menjadi tantangan karena memerlukan metode evaluasi yang kompleks untuk mencakup berbagai dimensi keilmuan dan perkembangan anak. Hal ini dapat membingungkan bagi pendidik dan orang tua dalam menilai kemajuan anak.

  1. Potensi Kesenjangan Pengetahuan:

Ada kemungkinan terjadinya kesenjangan pengetahuan antara ilmu agama dan ilmu umum jika tidak dikelola dengan baik, yang dapat menyebabkan dualisme dalam pendidikan anak. Ini berpotensi menghasilkan lulusan yang tidak seimbang dalam penguasaan ilmu pengetahuan.

Kesimpulan

aradigma Keilmuan Ketupat Ilmu mengedepankan integrasi-kolaborasi antara ilmu pengetahuan dan agama, merujuk pada skema anyaman ilmu yang dinamis. Konsep ini berusaha menggerakkan dua elemen secara bersamaan, menciptakan disiplin baru yang merepresentasikan hasil kolaborasi tersebut. Melalui pendekatan ini, INISNU Temanggung berupaya memajukan pendidikan dengan memanfaatkan sumber-sumber Islam dan metodologi barat, sehingga menghasilkan fakultas dan ilmu baru yang relevan dengan kebutuhan masyarakat. Paradigma ini menekankan pentingnya keterhubungan antara agama dan ilmu dalam membangun pemahaman yang holistik.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button