CerpenSastra

Menaklukkan Level Terakhir

Oleh : Sufi Saniatul Mabruroh

Rina dikenal sebagai gadis yang pandai dan penuh semangat. Sejak kecil, ia selalu menjadi peringkat pertama. Ia juga dikenal rajin, mudah bergaul, dan aktif di berbagai organisasi yang ada di kampus. Namun, semua itu perlahan berubah sejak ia mengenal dunia game online.
Awalnya, Rina bermain game hanya untuk hiburan disaat waktu luang. Rina merasa bermain game sebentar bisa menyegarkan pikiran setelah belajar. Tapi lama-kelamaan hal itu berubah menjadi candu. Setiap level yang berhasil dilewatinya membuatnya ingin mencapai level yang lebih. Setiap skin baru, setiap pencapaian dalam permainan, seakan menjadi prestasi yang lebih nyata daripada nilai di kampus.
Hari hari ia habiskan di depan layar. Pagi, siang, malam, bahkan subuh pun Rina masih terjaga demi sebuah kemenangan game onlinenya.
Ibunya, Bu Ratna, memperhatikan perubahan itu dan merasa khawatir. Anak yang dulu rajin bangun pagi dan sibuk membaca buku kini menjadi penghuni kamar yang hampir tak keluar rumah kecuali untuk makan atau ke kamar mandi.
“Rina, ayo makan dulu. Jangan main terus,” panggil Bu Ratna dari dapur.
“Ntar aja, Bu. Tinggal sedikit lagi nih! Rina lagi war penting,” jawab Rina, tanpa berpaling dari layar ponselnya.
Ibunya hanya bisa menghela napas. Hari-hari berikutnya tak banyak berubah. Skripsi yang seharusnya sudah mulai ditulis, hanya tersimpan sebagai file kosong di laptop. Ketika ditanya oleh dosen pembimbing, Rina selalu menjawab, “Masih revisi, Bu.” Padahal ia bahkan belum menyentuh revisi bab satu dari bulan lalu.

Suatu malam, listrik tiba-tiba padam. Rumah mendadak gelap gulita. Rina mengumpat kesal karena permainannya terhenti mendadak.
“Aduh, apes banget sih! Baru juga mau naik rank!” gerutunya sambil melempar ponsel ke kasur.
Rina berjalan ke luar rumah untuk mencari udara segar. Di taman kecil tak jauh dari rumah, ia duduk sendirian, mencoba menenangkan diri. Tak lama kemudian, datang seorang pria paruh baya, mengenakan jaket lusuh dan membawa tas plastik berisi botol bekas.
Pria itu duduk di bangku yang sama, tapi di ujung satunya. Rina menoleh sekilas, lalu mengalihkan pandangan. Tapi pria itu tiba-tiba berkata, seolah sedang berbicara pada siapa pun yang mendengarkan.
“Aku dulu juga kayak kamu. Suka banget main game. Siang malam main. Di kampus, aku jagoan. Semua orang kenal aku karena rank-ku tinggi. Tapi tahu nggak? Itu semua nggak berarti apa-apa sekarang.”
Rina menoleh dengan sedikit kaget.
“Om dulu kuliah juga?” tanyanya, pelan.
Pria itu mengangguk. “Teknik Informatika. Dulu aku punya mimpi besar. Tapi aku buang semua itu buat main game. Skripsi nggak kelar-kelar. Dosen udah males bimbing. Akhirnya DO. Orang tua kecewa. Sekarang aku cuma kerja ngumpulin botol buat makan.”
Rina terdiam. Ada sesuatu dalam kata-kata pria itu yang menusuk hatinya. Ia melihat dirinya dalam cermin kehidupan pria itu. Apa jadinya kalau ia terus seperti ini?

Artikel Terkait

Sepulang dari taman malam itu, Rina duduk di meja belajarnya. Listrik sudah kembali menyala. Tapi ia tak menyentuh ponsel. Ia membuka laptop dan menatap file skripsi yang lama terbengkalai. Lama ia menatapnya, seolah sedang berhadapan dengan musuh terakhir dalam sebuah game.
“Kalau aku bisa menamatkan ratusan level game, masa skripsi ini nggak bisa?” gumamnya.

Keesokan paginya, Bu Ratna terkejut. Rina sudah bangun dan duduk di meja belajar sejak subuh. Bukan bermain game, tapi menulis skripsi.

Hari-hari berikutnya menjadi masa yang menantang bagi Rina. Ia harus mengatur ulang kebiasaan yang selama ini salah. Rina memutuskan untuk menghapus game tersebut dari ponsel. Notifikasi ponsel ia dimatikan. Ia mulai menjadwal waktu belajar. Waktu tidur pun juga diatur dalam jadwal. Ia kembali bertemu dengan dosen pembimbing, yang tampak senang melihat perubahan drastis Rina.
“Rina, ini baru kamu yang dulu,” kata dosennya sambil tersenyum. “Tulisannya bagus. Lanjutkan!”
Rina merasa seperti menemukan jati dirinya kembali. Ia mulai menikmati proses penelitian, menulis dengan penuh semangat, dan berdiskusi aktif saat bimbingan. Waktu tiga bulan berjalan cepat. Di akhir semester, ia berhasil menyelesaikan skripsinya tepat waktu.

Hari sidang pun tiba. Rina tampil percaya diri mempresentasikan hasil penelitiannya. Ia menjawab setiap pertanyaan penguji dengan tenang dan logis. Ketika hasil diumumkan, Rina mendapat nilai A. Ia lulus dengan predikat sangat memuaskan.
Air mata Bu Ratna menetes saat memeluk putrinya.
“Terima kasih, Rina. Ibu tahu kamu pasti bisa.”
Rina tersenyum, menahan tangis haru.
“Bu, ternyata level paling sulit itu bukan di game. Tapi melawan rasa malasku. Sekarang aku merasa senang dan bangga terhadap diriku karena akhirnya aku berhasil menamatkannya.”

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button