Oleh : Sufi Saniatul Mabruroh
Aroma gurih ramen yang mengepul, sensasi pedas dan asam kimchi yang membangkitkan selera, atau kelembutan sushi yang lumer di mulut. Pemandangan ini semakin sering kita jumpai di berbagai sudut kota di Indonesia. Restoran Jepang dan Korea menjamur, dipadati oleh berbagai kalangan, mulai dari anak muda hingga keluarga. Fenomena ini memunculkan sebuah pertanyaan menarik: mengapa semakin banyak orang Indonesia yang tampak lebih antusias dengan makanan luar, khususnya Jepang dan Korea, dibandingkan dengan kekayaan kuliner Nusantara sendiri?
Ketertarikan pada makanan Jepang dan Korea bukanlah fenomena yang tiba-tiba muncul. Gelombang budaya populer dari kedua negara ini, yang dikenal dengan istilah Japan Wave dan Korean Wave atau Hallyu, memainkan peran yang sangat signifikan. Drama televisi, musik pop, hingga gaya hidup para selebriti idola secara tidak langsung memperkenalkan dan mempromosikan cita rasa kuliner mereka. Visualisasi makanan yang menarik dalam drama, adegan makan yang menggugah selera, hingga rekomendasi dari para idola menciptakan rasa ingin tahu dan keinginan untuk mencoba.
Selain pengaruh budaya populer, daya tarik visual dan presentasi makanan Jepang dan Korea juga patut diperhitungkan. Estetika penyajian yang detail, penggunaan mangkuk dan piring yang unik, hingga penataan bahan makanan yang berwarna-warni memberikan pengalaman makan yang lebih menarik secara visual. Bandingkan dengan penyajian makanan tradisional Indonesia yang terkadang terlihat lebih sederhana, meskipun rasanya tak kalah kaya. Generasi muda yang tumbuh dengan media sosial dan visualisasi yang kuat tentu lebih mudah tertarik dengan tampilan makanan yang instagramable.
Faktor lain yang turut berkontribusi adalah persepsi tentang makanan Jepang dan Korea yang dianggap lebih modern, bersih, dan sehat. Meskipun tidak sepenuhnya benar, citra ini berhasil tertanam di benak sebagian masyarakat. Makanan Jepang sering diasosiasikan dengan bahan-bahan segar dan teknik memasak yang minimalis, sementara makanan Korea, meskipun terkenal dengan rasa pedasnya, juga dikenal dengan kandungan sayuran fermentasi seperti kimchi yang dianggap baik untuk kesehatan. Persepsi ini secara tidak langsung mempengaruhi pilihan kuliner masyarakat.
Di sisi lain, makanan tradisional Indonesia seringkali dianggap terlalu berat, berminyak, atau kurang praktis untuk dikonsumsi sehari-hari, terutama bagi masyarakat sekarang yang serba cepat. Meskipun anggapan ini juga tidak sepenuhnya akurat, citra ini dapat mempengaruhi preferensi, terutama di kalangan generasi muda yang mencari opsi makanan yang lebih ringan dan cepat saji.
Namun, bukan berarti makanan Indonesia kehilangan penggemarnya sama sekali. Masih banyak individu dan keluarga yang setia dengan cita rasa rendang, sate, gado-gado, atau nasi goreng. Bahkan, beberapa restoran Indonesia kini mulai berinovasi dengan tampilan dan penyajian yang lebih modern untuk menarik minat generasi muda. Akan tetapi, daya tarik makanan Jepang dan Korea yang kuat, didukung oleh gelombang budaya populer yang terus berlanjut, menciptakan tantangan tersendiri bagi popularitas kuliner lokal.
Fenomena ini juga memunculkan diskusi tentang identitas kuliner bangsa. Apakah kita sebagai bangsa Indonesia mulai kehilangan apresiasi terhadap warisan kuliner sendiri? Apakah generasi mendatang akan lebih familiar dengan tteokbokki dan takoyaki dibandingkan dengan pempek dan rawon? Pertanyaan-pertanyaan ini patut direnungkan.
Penting untuk dicatat bahwa ketertarikan pada makanan luar bukanlah sesuatu yang negatif. Pertukaran budaya kuliner dapat memperkaya khazanah gastronomi suatu bangsa. Namun, penting juga untuk menjaga keseimbangan dan menumbuhkan rasa bangga terhadap kuliner sendiri. Pemerintah, pelaku industri kuliner, dan masyarakat secara keseluruhan memiliki peran penting dalam melestarikan dan mempromosikan makanan tradisional Indonesia agar tetap relevan dan menarik bagi generasi kini dan mendatang.
Sebenarnya, pilihan makanan adalah preferensi individu. Namun, sebagai bangsa dengan warisan kuliner yang kaya dan beragam, sudah seharusnya kita tidak hanya terpukau dengan cita rasa dari negeri lain, tetapi juga bangga dan terus melestarikan kelezatan makanan khas Indonesia. Jangan sampai generasi mendatang hanya mengenal rendang dari buku sejarah atau sate hanya sebagai nama gedung. Mari kita jaga agar lidah Indonesia tetap akrab dengan rasa rempah yang kaya dan aroma masakan nenek yang selalu dirindukan.