
Oleh: Riska Meliyana
Nata, seorang ramaja berusia 19 tahun, tengah berjuang meniti karir sebagai seorang atlet lari. Memiliki keluarga yang sederhana tidak membatasi mimpinya, hal itu justru menjadi motivasi untuk terus maju dan mengejar mimpinya serta memperbaiki ekonomi keluarganya. Ia memiliki orang tua yang yang bekerja sebagai PNS, serta seorang adik bernama Tio yang selalu mendukungnya. Meski sering diremehkan oleh orang-orang di sekitarnya, Nata tetap teguh melangkah, berkat dorongan dan keyakinan keluarganya. Seperti saat ini, ia tengah berdiri pada garis start dan memfokuskan perhatiannya pada garis finis di depan sana. Detik-detik sebelum peluit berbunyi terasa seperti waktu yang melambat, dan ia menghela napas dalam, menyiapkan dirinya untuk memberikan yang terbaik. Di tengah adrenalinnya yang semakin terpacu, peluit ahirnya dibunyikan, dan Nata melesat dari garis start. Di sisi lain, keluarga dan teman-teman yang menonton secara langsung pun ikut merasakan denyut adrenalin yang mengalir ditubuh mereka. Setiap langkah Nata yang mantap beriringan dengan doa-doa kaluarga dan orang-orang yang mendukungnya. Begitu banyak penonton yang mendukung dan meneriakkan namanya, “Nata, Nata, Nata..”
Sorakan dari penonton meredup di telinga Nata, semuanya tersaring oleh fokusnya pada garis finis yang sudah berada tak jauh di depannya. Setiap ototnya terasa terbakar, tetapi ia tak mengendurkan langkah. Pikirannya berulang-ulang menggemakan suara pelatih dan keluarganya, “Kamu bisa.” Dengan tatapan yang tidak lepas dari garis putih di ujung lintasan, ia mengerahkan sisa tenaga, dan akhirnya berhasil melewati garis yang akan membawanya lebih dekat dengan mimpinya, Nata menang dan mendapatkan medali ketiganya. Sesuai dengan harapannya, kali ini ia menerima penghargaan dengan sorakan bangga dari keluarga dan teman-temannya. Nata tersenyum ceria, seakan dunia sudah berada digenggamannya.
~
“Ta, kamu udah sadar, nak?”
“Mas Nata.. akhirnya mas sadar,”
“Tio, panggil dokter nak, masmu sudah sadar.”
Mata Nata menyipit memandang satu persatu wajah orang-orang yang berdiri di samping ranjang kecil tempatnya berbaring. Ia mengedarkan pandangan dan mendapati dinding putih dan beberapa suster yang masuk dari pintu di ujung ruangan. Sesaat setelah menyadari bahwa ia berada di rumah sakit, dahi Nata mengernyit mencoba mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Ia belum bisa mengucapkan sepatah kata-pun karena merasakan seluruh badannya terasa sakit dan tidak bisa digerakkan. Saat ia masih bergulat dengan pikirannya, Dokter dan beberapa suster memeriksa keadaannya, dan setelah itu ia dibawa ke ruangan dengan begitu banyak peralatan untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Pemeriksaan demi pemeriksaan telah dilakukan. Begitu banyak penanganan juga telah diupayakan, namun hasil akhir yang harus Nata dengar adalah bahwa ia di diagnosa mengalami kelumpuhan. Mendengar hal itu Nata bahkan tidak bisa menangis, wajahnya hanya terlihat layu dengan bibir yang memucat. Pandangannya menatap kedua orang tua dan adiknya yang menangis tersedu sambil memandanginya kasihan. Sepertinya baru kemarin Nata bahagia melihat keluarganya menangis karena terharu akan kemenangan, kini ia harus menyaksikan keluarganya menangis tersedu karena kelumpuhan. Apa itu berarti bahwa Nata harus merelakan mimpinya?
Dua minggu yang lalu setelah meraih kemenangan pada olimpiade yang diikutinya, Nata berencana merayakan kemenangannya bersama keluarga setelah sedikit berpesta dengan teman-temannya. Orang tuanya dan Tio sudah lebih dulu pergi ke restoran yang telah disepakati, sedangkan dirinya berencana menyusul. Tak lama setelah berpamitan dengan teman-temannya, ia pun bergegas menuju restoran tersebut. Namun, nahasnya saat hendak menyebrang jalan, sebuah mobil berkecepatan tinggi menabraknya dengan keras hingga tubuhnya terpental ke tepi jalan. Setelah kejadian itu, Nata hanya mengingat sekilas tentang medalinya yang terguling di jalanan, sebelum kesadarannya hilang sepenuhnya.
~
Delapan tahun berlalu sejak kecelakaan yang membuatnya harus merelakan mimpinya. Tidak hanya itu, ekonomi keluarganya yang dulu coba ia perbaiki justru kini memburuk. Ayahnya menjual tanah dan mobil untuk biaya pengobatannya, adiknya terpaksa tidak melanjutkan pendidikan ke bangku perkuliahan karena ingin membantu merawatnya. Selama tiga tahun itu juga ia mendapatkan banyak cemoohan, tatapan kasih, dan ejekan yang kadang membuatnya hampir putus asa. Tapi perhatian dan dukungan yang diberikan keluarga dan teman-temannya membuatnya kembali bangkit. Meski harus terbaring lemah dan mengandalkan bantuan orang lain, ia tetap bersyukur masih ada orang-orang yang merawat dan menghiburnya. Meski juga tak mudah baginya jika mengingat mimpi yang dulu sudah berada di depan mata kini menjadi suatu kemustahilan.
Nata kini menjalani rehabilitasi dan berbagai perawatan secara rutin. Selama delapan tahun yang melelahkan ia lewati dengan penuh harapan. Selama delapan tahun juga ia berada dalam kondisi itu membuatnya terbiasa melakukan berbagai hal sendiri. Ia sudah mulai bisa merawat dirinya sendiri, menggunakan kamar mandi sendiri, beraktivitas sendiri, bahkan ia bisa mengendarai mobil yang didesain khusus untuk disabilitas karena tangannya yang sudah bisa digerakkan dari beberapa tahun lalu.
Namun, tidak seperti biasanya, hari ini Nata terlihat lebih pendiam. Sedari perjalanan dari rumah menuju tempatnya melakukan rehabilitasi, wajahnya terlihat murung. Lelaki yang kini sudah bukan remaja lagi itu merasakan lelah yang luar biasa. Malam tadi ia mendengar ayah dan ibunya bertengkar karena masalah keungan, dan itu membutnya kembali merasa tidak berguna. Nata seakan kembali ke titik awal di mana ia merasa begitu merepotkan, dan itu kembali membuatnya ingin menyerah.
Sesampainya di rumah sakit, Nata menuju tempat rehabilitasi menggunakan kursi roda bersama adiknya.
“Mas, aku ambil nomor antrian dulu, ya?” Ujar Tio pada Nata.
“Iya, mas ke kamar mandi dulu, Io.” Ujar Nata yang membuat Tio menangguk.
Setelah pamit pada Tio tadi, Nata tidak benar-benar ingin ke kamar mandi. Ia melenggang keluar rumah sakit seorang diri. Meski sudah terbiasa, namun kali ini ia pergi dengan niat yang berbeda. Entah mengapa yang ada dalam pikirannya saat ini adalah bahwa delapan tahun sudah cukup baginya untuk menyusahkan keluarga dan orang-orang terdekatnya. Dengan wajah yang kembali layu dan terlihat frustasi, ia menggerakkan kursi rodanya menuju tengah jalanan yang ramai. Suara teriakan orang sekitar, klakson mobil, dan umpatan orang-orang terdengar riuh di telinganya, hingga ketika ia memejamkan mata berniat menyerah dari hidupnya, ada seorang perempuan yang dengan gugup menghampirinya dan menarik kursi rodanya menepi menuju pinggir jalan.
“Mas, kalau mau bunuh diri jangan di sini, nyusahin orang!” Suara kasarnya membuat Nata membuka mata dan menatap perempuan berambut panjang dengan mata kecil itu tengah terengah-engah di sampingnya. Tidak sampai di situ, suara kasarnya itu mulai terdengar lagi dan membuta Nata terpaku dengan rasa marah dan penyesalan.
“Lagian kenapa harus bunuh diri, sih? Yang punya masalah hidup ngga cuma lu doang, mas. Lu harusnya bersyukur masih dikasih nyawa, masih di kasih cobaan, itu artinya Tuhan sayang sama, lu. Siapa sih lu berani nyia-nyiain nyawa disaat ada banyak orang yang pengen banget hidup lama tapi umurnya dikasih pendek sama Tuhan? Ga tau diri banget, Lu.”
Setelah mengatakan banyak hal sambil menangis, perempuan itu melenggang pergi meninggalkan Nata seorang diri. Tak lama Tio datang setelah terpaku di sebrang jalan melihat apa yang terjadi dengan kakaknya.
“Mas, mas kenapa sih? Kalo ada apa-apa cerita ga kaya gini, mas! Hari ini kita pulang aja, mas istirahat.” Tio yang sudah tidak bisa lagi mengutarakan rasa kecewanya hanya bisa terdiam dan membawa kakaknya kembali ke mobil.
Di dalam mobil suasana menjadi hening. Nata bertengkar dengan isi kepalanya, sedangkan Tio memendam rasa kecewanya.
“Kamu bilang tadi kalo ada apa-apa cerita, bukannya kebalik, ya? Harusnya kamu sama ibu, bapak yang kalo ada masalah tuh cerita, Io. Aku tau, meskipun kalian cerita atau engga ke aku juga ngga ada bedanya karena masmu ini ngga berguna, tap..”
“Mas, ga ada yang ga berguna. Mas kenapa sih ngga kayak biasanya? Kita semua sayang sama mas, kita semua mengusahakan segalanya buat mas, kita berjuang buat mas, tapi mas dengan gampangnya mau nyerah gitu aja?.” Ujar Tio memotong ucapan Nata.
“Tapi mas capek, Io. Mas ngga mau nyusahin kamu, bapak, sama ibu terus.” Suara Nata bergetar tidak kuasa menahan tangis.
Io memejamkan matanya ikut menahan tangisnya, “Mas, aku aja ngga nyerah ngerawat mas, setiap hari aku cari cara buat sembuhin mas. Selama aku, bapak, sama ibu ngga nyerah, pokoknya mas ngga boleh nyerah!.”
Kalimat yang diujarkan Tio final, Nata sudah tidak diperbolehkan beralasan lagi. Apapun alasannya, bagi Tio dan keluarganya, Nata berharga lebih dari apapun. Lelaki tampan dengan mata sipit yang orang bilang bernasib malang itu akan tetap menjadi kebanggaan keluarganya sampai kapanpun. Keluarganya tidak peduli ia seorang atlet, seorang pengangguran, atau bahkan seorang disabilitas. Rasa sayang mereka tidak pernah berkurang.
Satu minggu setalah kejadian itu Nata berangsur membaik. Teman-temannya datang menghiburnya, ibu dan ayahnya meminta maaf kareana pertengkarannya membuat ia berpikir sedemikian rupa hingga ingin mengakhiri hidupnya. Malam setelah insiden itu, rumahnya kembali dihiasi dengan tangisan dan rasa bersalah, namun itu juga membuat mereka belajar akan bayak hal, terutama Nata. Sejak hari itu, Nata tidak bisa melupakan perempuan yang mendorong kursi rodanya ke tepi jalan. Wajah mungil yang sempat dilihatnya terasa begitu familiar, namun ia tak mampu mengingat dari mana. Berbagai upaya untuk menemukan perempuan itu melalui sosial media pun berujung sia-sia. Hingga akhirnya, ia mendapatkan ide untuk mengembangkan akun sosial medianya yang telah ia bangun selama empat tahun terakhir. Kini, Nata semakin konsisten membuat konten yang berfokus pada kehidupan disabilitas, dengan harapan dapat mendapatkan lebih banyak penonton.
Di sisi lain, ia juga mulai menerbitkan buku-buku yang berisi kisah hidupnya, hasil dari tulisan yang telah ia kerjakan selama ini. Buku-bukunya mendapat perhatian luas, yang secara tak langsung meningkatkan jumlah pengikutnya di sosial media. Seiring berjalannya waktu, semakin banyak orang yang terinspirasi oleh perjalanan Nata, tentang bagaimana ia merelakan impiannya, menerima keadaannya, dan tidak menyerah.
Kutipan-kutipan dari bukunya yang terbit kini tersebar di sosial media, hingga suatu ketika ada sebuah akun yang menandai dirinya dalam suatu postingan. Itu adalah foto dari salah satu halaman bukunya dengan caption “Terima kasih untuk tidak menyerah”, karena penasaran dengan pemilik akun, Nata langsung membuka profilnya dan betapa terkejutnya ia saat mendapati bahwa pemilik akun tersebut adalah gadis manis yang pernah menolongnya, sosok yang selama ini ia cari, dan yang menjadi sumber motivasinya hingga ia berada di titik ini. Tanpa ragu, Nata segera mengirimkan pesan kepada gadis itu, Nala namanya.
Selama setahun saling mengenal hingga akhirnya menjalin hubungan, Nata dan Nala aktif berpartisipasi dalam berbagai komunitas disabilitas serta komunitas positif lainnya. Keduanya saling mendukung dan bahkan memulai usaha bersama. Mereka juga menikmati kebersamaan dalam keterlibatan mereka di berbagai kegiatan yang bermanfaat, dan dari situ Nata berpikir bahwa setiap hari adalah pelajaran hidup baginya. Dulu ia merelakan mimpinya dan harapannya, tapi kini ia mendapatkan apa yang tidak pernah terbayang olehnya. Kini Nata tidak hanya menjadi seseorang yang menginspirasi banyak orang, tapi juga mendapatkan seorang perempuan yang menerimanya apa adanya. Kecelakaan itu bukan hukuman bagianya, tapi itu adalah cara Tuhan mempersiapkan masa depan dengan membunuh kesombongannya. Kini Nata tidak menyesali kedaannya, ia hanya perlu berusaha, maka Tuhan akan memberikan jalannya.
Jadi, jika saat ini kamu menjumpai dirimu dalam keadaan di mana kamu harus merelakan mimpimu, maka terima saja dan tunggu, karena Tuhan tengah mempersiapkan segala yang sesuai dengan apa yang bisa kamu terima. Mimpi itu tidak hanya satu, jika hanya melewatimu, itu artinya mimpi itu tidak ditakdirkan untukmu.