CerpenSastra

Misi Rahasia Nenek Siti

Oleh Faizal Adyanto

Kabartemanggung.com – Di sebuah desa kecil yang tenang, tinggallah seorang nenek bernama Siti. Usianya memang sudah cukup tua, tapi jiwa mudanya seolah tidak pernah pudar. Rambutnya yang putih selalu ditata rapi, dan tubuhnya yang mungil tapi gesit membuatnya terkenal di desa. Selain karena kebaikannya, Nenek Siti juga terkenal karena tingkahnya yang suka berpetualang dan menghibur orang-orang di sekitarnya.

Suatu hari, saat sedang duduk di beranda sambil mengunyah gorengan, Nenek Siti mendengar berita menarik dari Pak RT. Ternyata, ada rencana pembangunan gedung baru di desa mereka. Tidak tanggung-tanggung, gedung itu akan menjadi pusat perbelanjaan yang modern!

Artikel Terkait

“Ah, pusat perbelanjaan? Lalu, bagaimana nasib Pasar Minggu kita?” pikir Nenek Siti. Dia merasa ada yang aneh. Bagaimana bisa desa kecil mereka yang hanya memiliki satu mini-market dan beberapa warung mendapat pusat perbelanjaan?

Dengan rasa penasaran yang menggebu, Nenek Siti mulai mengamati gerak-gerik para pekerja bangunan yang mulai berdatangan ke desa. Setiap pagi, Nenek Siti duduk di warung Bu Lestari sambil menyaksikan para pekerja yang sibuk menyiapkan lahan. Ia memicingkan mata, mengawasi dengan penuh curiga. “Siapa tahu ada rencana rahasia di balik semua ini,” gumamnya dalam hati.

Malamnya, Nenek Siti pun mulai merancang misi rahasia. Dia ingin menyelidiki proyek itu lebih dalam. Maka, dimulailah Misi Rahasia Nenek Siti. Dia memanggil cucunya, Fikri, yang kebetulan baru saja pulang dari kota.

“Fikri, tolong Nenek ya. Nenek butuh bantuanmu,” katanya dengan nada serius, yang jarang sekali keluar dari mulutnya.

Fikri yang sudah akrab dengan tingkah lucu neneknya, bertanya, “Ada apa lagi, Nek? Nenek mau buat perangkap tikus besar lagi kayak dulu?”

“Tidak, Fikri! Ini lebih serius! Kita harus menyelidiki proyek pusat perbelanjaan itu!” kata Nenek dengan penuh semangat.

Fikri berusaha menahan tawa. “Oke, Nek. Lalu, apa yang harus kita lakukan?”

Nenek Siti kemudian mengeluarkan peta kecil yang ia gambar sendiri. “Kita akan menyelinap ke lokasi proyek itu malam ini! Siapa tahu kita bisa menemukan sesuatu.”

Malam pun tiba, dan keduanya mulai bergerak menuju lokasi proyek. Nenek Siti mengenakan pakaian serba hitam, lengkap dengan ikat kepala yang membuatnya tampak seperti mata-mata. Fikri yang tak mau kalah juga berpakaian serba hitam, meski ia tak yakin apa yang sebenarnya sedang mereka lakukan.

Sesampainya di lokasi, Nenek Siti berbisik, “Fikri, hati-hati, jangan sampai ketahuan. Kalau ketahuan, kita pura-pura nyasar.”

Keduanya merangkak pelan-pelan menuju pagar proyek. Fikri yang masih remaja mungkin tidak terlalu kesulitan, tapi Nenek Siti harus berusaha keras menahan napasnya. Ketika mereka mendekati pintu pagar, terdengar suara seorang penjaga.

“Hei! Siapa di sana?”

Fikri langsung panik, tapi Nenek Siti malah tertawa kecil. “Tenang, Fikri. Biar Nenek yang urus.”

Dengan penuh percaya diri, Nenek Siti berdiri dan langsung mendekati penjaga itu. “Permisi, Nak. Nenek mau lihat-lihat saja kok, penasaran. Kalau Nenek nggak boleh lihat, ya sudah deh Nenek pulang,” katanya dengan nada penuh keibuan.

Penjaga yang terkejut hanya mengangguk kikuk, “Iya, iya, Bu. Hati-hati ya, jangan dekat-dekat alat berat.”

“Nenek juga mau perhatikan dari jauh saja, kok,” balas Nenek Siti sambil menyengir dan berusaha terlihat tidak mencurigakan.

Fikri takjub melihat kehebatan neneknya yang dengan mudah berhasil mengalihkan perhatian penjaga. Mereka berdua kemudian menyusup lebih dalam ke area proyek. Setelah berkeliling dan melihat-lihat, akhirnya mereka menemukan sebuah papan rencana pembangunan yang besar.

Mereka memperhatikan sketsa dan tulisan yang ada di papan itu. Betapa kagetnya Nenek Siti dan Fikri ketika melihat bahwa ternyata proyek itu bukan hanya sekedar pusat perbelanjaan. Di bagian atas sketsa, tertulis bahwa proyek tersebut juga akan menggusur Pasar Minggu dan menggantinya dengan tempat parkir besar!

Nenek Siti langsung memikirkan para pedagang di Pasar Minggu yang mungkin akan kehilangan tempat mencari nafkah. Tak ingin berdiam diri, Nenek Siti akhirnya memutuskan untuk melakukan aksi protes.

Besok paginya, Nenek Siti datang ke pasar dengan membawa spanduk kecil bertuliskan, “Selamatkan Pasar Minggu!” Semua orang di pasar langsung heboh melihat aksi Nenek Siti yang tak biasa.

Pak RT yang mendengar keramaian itu segera datang menghampiri. “Ada apa, Bu Siti? Kenapa ramai-ramai begini?”

Dengan semangat berapi-api, Nenek Siti mulai bercerita soal rencananya untuk menyelamatkan pasar. Pak RT dan warga lain yang mendengar hal itu akhirnya mendukung niat Nenek Siti. Mereka semua sepakat untuk melakukan aksi protes dan mengajukan petisi agar pembangunan pusat perbelanjaan tidak mengganggu pasar tradisional mereka.

Berhari-hari kemudian, berkat semangat Nenek Siti, berita aksi protes warga desa akhirnya sampai ke pihak pengembang. Merasa terpojok, pihak pengembang akhirnya datang ke desa dan menggelar diskusi terbuka dengan warga.

Di depan semua orang, Nenek Siti maju sebagai perwakilan warga. Ia berbicara dengan tegas, “Kami tidak menolak pembangunan pusat perbelanjaan, tapi kami minta Pasar Minggu tetap ada! Ini adalah bagian dari sejarah desa kami, dan banyak orang yang hidup dari sini.”

Pihak pengembang yang tersentuh oleh semangat Nenek Siti akhirnya mengalah dan setuju untuk membuat perencanaan ulang. Mereka menjanjikan bahwa Pasar Minggu akan tetap ada, dan pusat perbelanjaan akan dibangun tanpa mengganggu pasar tradisional.

Setelah perjuangan panjang itu, desa akhirnya tetap memiliki Pasar Minggu mereka, dan Nenek Siti menjadi pahlawan kecil di hati warga desa. Hingga kini, setiap kali ada pembangunan baru atau perubahan besar di desa, warga selalu ingat untuk berkonsultasi dulu dengan Nenek Siti, si pejuang gigih dengan semangat luar biasa.
Setelah berhasil mempertahankan Pasar Minggu, Nenek Siti merasa semakin bersemangat dalam membela kepentingan desa. Tapi ternyata, masih ada tantangan yang menunggu! Seiring berjalannya waktu, pihak pengembang memang sudah setuju untuk tetap mempertahankan pasar tradisional, namun Nenek Siti tetap merasa ada yang tidak beres. Apalagi, dia mendengar gosip dari Bu Lestari, pemilik warung, bahwa akan ada mesin-mesin besar yang datang untuk memulai penggalian pondasi pusat perbelanjaan itu.

Suatu malam, Nenek Siti duduk bersama gengnya di pos ronda desa. Selain Fikri, ada Pak Kumis, yang terkenal sebagai penjaga malam, dan Bu Marni, si tukang sayur yang sering menjual dagangannya di Pasar Minggu.

“Ada yang harus kita lakukan lagi,” kata Nenek Siti serius. “Jangan sampai proyek ini merusak desa kita.”
Pak Kumis menatap Nenek Siti dengan bingung. “Tapi, Bu Siti, bukannya mereka sudah janji tidak akan menggusur Pasar Minggu?”

“Betul, Pak Kumis,” sahut Nenek Siti sambil mengangguk. “Tapi janji tetap harus kita pantau! Siapa tahu nanti malah pasar tetap kena dampaknya.”

Nenek Siti kemudian mengusulkan sebuah rencana untuk memantau proyek lebih dekat. Mereka memutuskan untuk bergantian berjaga di sekitar proyek agar dapat memeriksa setiap perkembangan. Mereka bahkan membagi waktu berjaga antara pagi, siang, dan malam. Malam itu juga, Pak Kumis dan Bu Marni langsung setuju.

“Aku suka idenya, Bu Siti. Sudah lama aku tidak punya kegiatan seru seperti ini,” ujar Bu Marni sambil tertawa.

Sementara itu, Fikri yang ikut dalam tim “pengawas proyek” mencoba menyembunyikan kekhawatirannya. Dia sudah tahu tingkah laku neneknya yang kadang bisa mengarah ke arah yang konyol.

Hari Pertama Misi Pengawasan

Di hari pertama, Pak Kumis mendapat giliran pertama untuk berjaga pada pagi hari. Tentu saja, ia membawa teropong dari zaman dulu yang sudah usang namun masih bisa digunakan. Pak Kumis memutuskan untuk mengawasi dari jarak yang aman di balik pohon besar yang tidak jauh dari lokasi proyek. Meski mata Pak Kumis sudah mulai buram, dia tetap berusaha keras memantau setiap gerakan pekerja.

Tapi, ketika ia sedang serius mengamati, seorang pekerja bangunan menyadari keberadaannya.

“Pak, lagi ngapain di situ?” tanya si pekerja yang kebetulan lewat.

“Oh, anu… saya cuma cari angin saja,” jawab Pak Kumis terbata-bata. “Biar segar, tahu sendiri, kan, sudah tua. Duduk sini aja kok, nggak ganggu.”

Pekerja itu hanya mengangguk, meski dia tetap merasa aneh. Setelah itu, Pak Kumis melanjutkan “tugasnya” dengan tetap bersembunyi. Namun, sayangnya, setiap kali ada orang yang lewat, Pak Kumis harus segera berdiri dan pura-pura sedang olahraga pagi. Meski harus bolak-balik berdiri, Pak Kumis merasa puas karena berhasil menyelesaikan tugasnya tanpa ketahuan.
Hari Kedua: Giliran Bu Marni

Hari berikutnya, giliran Bu Marni yang berjaga siang hari. Bu Marni sebenarnya cukup berani, tapi dia takut sekali pada suara alat-alat berat. Untuk menenangkan diri, dia membawa bekal kue cucur dan teh hangat. Sambil duduk di balik pagar proyek, Bu Marni mengamati para pekerja dan mencoba mencatat segala aktivitas yang terjadi.

Namun, karena suasana proyek yang bising, Bu Marni akhirnya ketiduran di bawah pohon sambil memeluk keranjang kue cucurnya. Ketika terbangun, ternyata sudah sore dan para pekerja mulai pulang. Bu Marni pun panik karena merasa tidak ada catatan yang bisa dia bawa ke geng pos ronda.

“Aduh, bagaimana ini? Aku malah ketiduran. Eh, tapi siapa yang tahu kalau aku ketiduran ya? Ah, yang penting tetap ada laporan.”

Dengan percaya diri, Bu Marni kembali ke pos ronda dan melaporkan pada yang lain bahwa dia “mengawasi dengan teliti” semua aktivitas proyek sepanjang hari.
Hari Ketiga: Giliran Nenek Siti Sendiri

Akhirnya tiba giliran Nenek Siti untuk berjaga di malam hari. Dia membawa senter kecil dan tas pinggang yang berisi beberapa camilan kesukaannya. Kali ini, dia juga mengajak Fikri untuk menemaninya, meskipun Fikri sebenarnya agak ragu.

“Nenek, apa kita tidak akan ketahuan? Lagipula, proyek ini kan tidak terlalu bahaya ya, Nek?” tanya Fikri.

“Apa kamu lupa, Fikri, banyak cerita di TV yang katanya proyek-proyek besar itu sering kali tidak sesuai janji?” jawab Nenek Siti dengan mantap.

Ketika sampai di lokasi proyek, Nenek Siti dan Fikri mulai merayap di pinggir pagar dan mencoba mengintip ke dalam. Dari kejauhan, mereka melihat sesuatu yang mengejutkan: sebuah mobil hitam mewah berhenti di dekat area proyek. Dari dalam mobil, keluar seorang pria berpakaian rapi yang tampak berbicara dengan mandor proyek.

“Ah, lihat tuh! Orang kaya! Jangan-jangan dia itu bosnya,” bisik Nenek Siti dengan penuh semangat.

Fikri yang mulai penasaran, langsung berbisik, “Nek, kayaknya kita harus lebih dekat. Biar jelas.”
Nenek Siti mengangguk, dan keduanya merayap lebih dekat, meski dengan langkah perlahan. Namun, ketika sedang mendekat, senter kecil di tangan Nenek Siti tiba-tiba jatuh dan menimbulkan bunyi cukup keras.

Pria berpakaian rapi itu menoleh ke arah mereka. Nenek Siti langsung panik, dan tanpa pikir panjang, dia menarik Fikri bersembunyi di balik tumpukan karung pasir. Mereka berusaha menahan napas, berharap tidak ketahuan.

Untung saja, pria itu mengira bunyi tadi hanya berasal dari hewan liar, dan ia kembali melanjutkan pembicaraannya dengan mandor. Nenek Siti yang merasa lega, memandang Fikri dan tertawa kecil.

“Seru kan, Fikri? Ini mirip film mata-mata, ya?”

Fikri hanya bisa mengangguk sambil tersenyum kecil. Meski awalnya merasa khawatir, ia mulai menikmati petualangan bersama neneknya yang tidak kenal takut.

Setelah beberapa menit, pria berpakaian rapi itu pergi meninggalkan lokasi proyek. Nenek Siti akhirnya memutuskan bahwa tugas malam ini sudah selesai dan membawa Fikri kembali ke pos ronda untuk melaporkan hasil pengamatannya.
Akhirnya Terungkap!

Dengan laporan dari Pak Kumis, Bu Marni, dan pengamatan Nenek Siti sendiri, mereka akhirnya punya cukup informasi untuk disampaikan ke warga desa. Di hari Minggu pagi, Nenek Siti mengundang warga ke balai desa dan mempresentasikan temuan mereka.

“Ada pria misterius yang datang ke proyek malam-malam,” kata Nenek Siti dengan nada tegas. “Dia berpakaian rapi dan membawa mobil mewah. Mungkin dia adalah orang yang memegang proyek ini.”

Warga yang mendengarkan cerita Nenek Siti langsung riuh. Mereka mulai berbisik-bisik, membicarakan siapa sebenarnya pria itu. Ada yang menduga dia mungkin pejabat tinggi, ada yang mengira dia pengusaha kaya dari kota. Intinya, semua jadi merasa curiga.

Namun, tiba-tiba Pak RT datang dan tertawa mendengar cerita itu. “Wah, Nenek Siti! Orang yang Nenek lihat itu bukan siapa-siapa kok. Dia hanya seorang konsultan proyek yang memang sering datang untuk mengecek kemajuan pekerjaan!”

Semua warga langsung tertawa, termasuk Nenek Siti sendiri. Ternyata, pria yang dia curigai sebagai “bos besar” hanyalah konsultan yang bertugas mengawasi proyek agar sesuai dengan janji mereka.
Meski misi mereka berakhir dengan kesalahpahaman yang lucu, warga tetap mengapresiasi Nenek Siti dan tim pengawas proyek desa. Mereka semua tahu bahwa di balik semua tingkah lucu dan aksi mata-mata Nenek Siti, beliau sebenarnya tulus menjaga desa dan memperjuangkan kepentingan warga.

Sejak saat itu, Nenek Siti semakin dihormati dan dicintai oleh warga desa. Meski kadang-kadang tindakannya sedikit “berlebihan,” warga tetap merasa beruntung memiliki seorang nenek yang penuh semangat seperti dirinya. Yo

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga
Close
Back to top button