Oleh: Yafika Aribah
Duduk di depan pintu sering kali dianggap hal yang buruk di masyarakat Indonesia. “Nanti jodohnya ngga jadi ke rumah” begitu bunyi peringatan yang sering dilontarkan dari zaman kakak-nenek.Namun, apakah mitos ini relevan dengan zaman moderen saat ini atau hanya sekadar menakut-nakuti untuk mendisiplinkan anak-anak?
Akan tetapi, mitos tersebut memiliki akar budaya yang cukup kuat dan menarik. Dalam budaya Jawa “pintu” dianggap sebagai simbol pelestarian antara dunia luar dan dunia dalam. Maka dari itu, duduk di depan pintu dianggap menghalangi arus “rezeki” yang akan masuk ke dalam rumah. Sementara itu, dilihat dari prespektif modern atau praktis, pintu merupakan jalur utama lalu lintas, sehingga duduk di depan pintu dapat mengganggu keluar masuknya orang-orang di rumah.
Namun, jika dipahami lebih dalam, mitos tersebut menjadi salah satu cara bijak di zaman orang tua dulu dalam menanamkan rasa sopan santun. Duduk di depan pintu dapat menciptakan kesan malas atau tidak menghormati orang rumah, apalagi jika rumah tersebut sering dikunjungi tamu.
Di era modern ini, mitos tersebut sering dipandang sebelah mata . Namun, apakah mitos tersebut tidak memiliki manfaat sama sekali bagi generasi muda? Tentu tidak. Walaupun kini sering diabaikan, mitos tersebut sebaiknya dianggap memiliki makna untuk mengajarkan tata krama di dalam rumah. Jika, menurut orang tua dulu nanti jodohnya ngga jadi masuk, sekarang kita maknai sebagai tata krama menghormati ruang gerak orang lain.
Akhirnya, tetap saja mitos duduk di depan pintu menjadi warisan budaya yang penuh akan makna dan disesuaikan dengan konteks pada zamannya. Karena kita perlu untuk memahami pesan moral di dalamnya.