Oleh : Indah Kurnia Sari
Nyadran Kali yang dilakukan setahun sekali adalah sebuah tradisi yang sangat penting bagi masyarakat Jawa, berbeda dengan nyadran di bulan ruwah, tetapi nyadran kali ini dilakukan pada tanggal 10 Suro, hari yang bertepatan dengan awal tahun baru Jawa dan bulan Muharram dalam kalender Islam. Tradisi ini merupakan bentuk penghormatan kepada leluhur dengan cara membersihkan makam, mendoakan arwah, serta mengadakan kenduri atau makan bersama. Nyadran Kali bukan hanya ritual keagamaan, tetapi juga sarana mempererat tali silaturahmi dan menjaga keharmonisan sosial antarwarga desa.
Pada tanggal 10 Suro, masyarakat melakukan prosesi Nyadran dengan membersihkan makam leluhur dari kotoran dan rerumputan secara gotong royong, yang dikenal dengan istilah besik. Setelah itu, dilakukan doa bersama yang dipimpin oleh tokoh adat atau pemangku agama, diikuti dengan pembacaan ayat Al-Qur’an, zikir, dan tahlil sebagai bentuk permohonan keselamatan dan keberkahan. Prosesi ini diakhiri dengan kembul bujono, yaitu makan bersama yang menjadi simbol kebersamaan dan rasa syukur atas nikmat yang telah diberikan.
Asal-usul Nyadran sendiri merupakan hasil akulturasi budaya Hindu-Buddha dan Islam yang telah berlangsung sejak abad ke-15. Para Walisongo berperan besar dalam menyelaraskan tradisi ini dengan ajaran Islam, sehingga meskipun mengandung unsur kepercayaan leluhur, Nyadran tetap sesuai dengan syariat Islam. Tradisi ini menjadi pengingat akan pentingnya menghormati dan mendoakan orang tua serta leluhur sebagai bagian dari nilai spiritual dan budaya Jawa.
Di desa-desa seperti Tlogopucang, Kandangan, nyadran pada tanggal 10 Suro menjadi momen sakral yang rutin dilaksanakan. Selain sebagai wujud syukur dan permohonan keselamatan, kegiatan ini juga menjadi ajang silaturahmi antarwarga yang memperkuat rasa kebersamaan dan solidaritas. Tradisi ini tidak hanya dilihat sebagai kegiatan keagamaan, tetapi juga sebagai warisan budaya yang harus terus dilestarikan agar nilai-nilai luhur masyarakat Jawa tetap hidup dan berkembang.
Dengan segala makna dan prosesi yang dijalankan, Nyadran Kali pada tanggal 10 Suro menjadi cermin harmonisasi antara budaya dan agama yang mengakar kuat di masyarakat Jawa. Tradisi ini mengajarkan pentingnya menjaga hubungan baik dengan leluhur dan sesama manusia, sekaligus menjadi momentum refleksi diri dan memperkuat ikatan sosial. Oleh karena itu, Nyadran tidak hanya sekadar ritual, melainkan juga bagian dari identitas budaya yang wajib dilestarikan demi keberlangsungan tradisi dan nilai-nilai luhur bangsa.