Pasar Jumat Pahing: Warisan Budaya dan Spiritualitas di Lereng Sumbing

Oleh : Tri Nadya Septiyaningrum

Pasar Jumat Pahing di Dusun Menggoro, Desa Tembarak, Kabupaten Temanggung bukanlah sekadar pasar biasa, melainkan manifestasi dari perpaduan antara tradisi spiritual dan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat. Setiap 35 hari sekali, tepatnya pada malam Kamis Wage menuju Jumat Pahing, ribuan peziarah memadati kompleks Masjid Jami’ Menggoro untuk mengikuti mujahadah, ziarah, dan berbagai ritual yang diyakini sarat makna religius. Tradisi ini berakar dari dakwah Islam yang dilakukan oleh tokoh spiritual bernama Kyai Abdul Kholiq atau Mbah Pahing, utusan Sunan Kalijaga, yang dipercaya menyebarkan Islam melalui pendekatan budaya di wilayah ini sejak abad ke-16. Masjid yang menjadi pusat kegiatan tersebut bahkan disebut-sebut dibangun pada tahun 1722 M, menjadikannya salah satu masjid tertua di Jawa Tengah.

Di balik kekhusyukan ritual keagamaan, tumbuh pula kehidupan ekonomi melalui pasar malam dadakan yang muncul di sekitar masjid. Para pedagang dari dalam dan luar desa menjajakan berbagai kebutuhan, mulai dari makanan tradisional seperti apem, brongkos kikil, cucur, hingga kebutuhan ritual seperti kembang boreh dan dupa. Tradisi ini membuka peluang ekonomi bagi warga sekitar, terutama pemuda yang menyediakan jasa parkir, warga yang menyewakan halaman rumah, serta pedagang yang bisa meraup penghasilan signifikan hanya dalam semalam. Tidak hanya itu, pengunjung datang dari berbagai daerah Temanggung, Magelang, Wonosobo, Kendal, bahkan Jakarta dan semarang menjadikannya sebagai ajang silaturahmi dan pertemuan lintas wilayah.

Uniknya, pasar ini bukan sekadar transaksi jual-beli. Ia juga menjadi ruang kontemplatif dan kultural, di mana pengunjung bisa memeluk tiang utama masjid (saka) sebagai bentuk harapan spiritual, atau membawa kembang boreh untuk ditabur di perempatan sebagai simbol tolak bala. Tradisi-tradisi tersebut merepresentasikan nilai-nilai moral dan sosial masyarakat Jawa: gotong royong, rasa syukur, doa, dan pengharapan akan kehidupan yang lebih baik. Dalam kajian Islam Nusantara, tradisi Jumat Pahing ini menjadi contoh nyata bagaimana Islam menyatu dengan budaya lokal tanpa menghilangkan esensi keduanya.
Dengan demikian, Pasar Jumat Pahing di Menggoro bukan sekadar destinasi religi, melainkan juga ruang pertemuan budaya, spiritualitas, dan ekonomi rakyat. Ia menjadi bukti nyata bahwa kearifan lokal masih hidup, tumbuh, dan terus relevan di tengah perubahan zaman. Tradisi ini menunjukkan betapa kuatnya akar budaya dan spiritual masyarakat Temanggung dalam menjaga harmoni antara dunia dan akhirat.

Exit mobile version