
Oleh : Indah Kurnia Sari
Kabartemanggung.com – Aku kembali ke rumah itu setelah lima belas tahun. Langkahku ragu menyusuri jalanan desa yang kini lebih lengang. Beberapa rumah berubah jadi toko, sebagian lainnya tetap seperti dulu—sunyi dan sederhana. Tapi ada satu tempat yang terus memanggil-manggil dari dalam ingatan yaitu pawon (dapur) di belakang rumah Ibu.
Halaman depan masih sama, hanya pohon jambu di sudut tampak lebih tua. Aku membuka pintu pagar dengan hati-hati, seolah takut mengganggu kenangan yang telah lama tertidur. Rumah itu berdiri tenang, temboknya kusam, tapi tetap utuh. Hatiku berdebar saat mendengar suara khas dari belakang rumah yaitu suara kayu dibelah, dan bunyi centong membentur wajan.
Aku melangkah pelan ke belakang. Dan di sana seperti mimpi, aku melihatnya. Ibu.
Ia masih seperti yang terakhir kulihat, rambut digelung sederhana, mengenakan kebaya dan jarik. Tubuhnya sedikit membungkuk, tapi gerakannya tetap cekatan. Ia tengah membalik tempe mendoan di atas wajan tua yang hitam legam karena jelaga.
“Ibu?” suaraku tercekat
Ibu menoleh, dan senyumnya mengembang perlahan. “Lho… kamu pulang, Nduk?”
Aku tak sanggup menjawab. Hanya bisa menatapnya, tak percaya bahwa aku benar-benar ada di sini. Di pawon ini. Bersamanya.
“Duduklah. Ini masih panas,” katanya sambil menyodorkan selembar tempe goreng di atas daun pisang. Tangannya sedikit bergetar, tapi matanya bening dan hangat seperti dulu.
Aku duduk di dingklik kayu yang dulu sering kupakai saat kecil. Pawon ini seperti tak tersentuh waktu. Tembok bata merah terbuka, tungku dari tanah liat, dan bau asap kayu bercampur aroma masakan—semuanya membuat dada sesak oleh rindu.
“Sudah lama kamu nggak pulang,” kata Ibu pelan. “Apa kota membuatmu lupa jalan ke pawon ini?”
Aku menunduk. “Maaf, Bu. Aku terlalu sibuk…”
Ia tersenyum tipis. “Ibu ngerti. Tapi pawon ini tetap nunggu kamu pulang.”
Dulu, pawon adalah tempat segalanya dimulai. Setiap pagi, aku duduk di sudut sambil mengupas bawang atau meniup api kecil agar tungku menyala. Ibu mengajariku memasak, bukan hanya dengan resep, tapi dengan hati.
“Masak itu soal rasa, bukan cuma soal takaran,” ucapnya suatu pagi. “Kalo hatimu nggak tenang, masakanmu juga ikut gelisah.”
Di pawon ini pula aku bercerita tentang hari-hariku, tentang mimpi kuliah di kota, dan tentang cinta pertamaku yang gagal. Ibu selalu mendengarkan, sambil tetap mengaduk sayur lodeh atau menumbuk cabe.
Tapi setelah aku diterima kerja di Jakarta, segalanya mulai berubah. Aku pulang makin jarang. Dan pawon ini, rumah rasa dan cerita—hanya menjadi kenangan samar di kepalaku.
Kini, saat aku duduk kembali di sini, semuanya terasa nyata. Bahkan lebih dari nyata.
“Ibu masih masak di tungku?” tanyaku.
“Ya, meskipun tetangga udah pakai kompor gas semua. Tapi rasa dari api kayu itu beda. Kaya hatimu yang dulu,” katanya sambil tersenyum penuh arti.
Aku terdiam. Satu per satu rasa bersalah muncul. Bukan karena tak pulang, tapi karena membiarkan waktu berlalu tanpa mencoba kembali.
Kami memasak dan makan bersama di pawon. Nasi hangat, mendoan, sambal bawang, dan kopi hitam. Sederhana, tapi rasanya lebih lezat dari makanan restoran manapun. Mungkin karena rasa yang sesungguhnya ada di sini, di tengah kenangan
Sore itu, aku berkata, “Bu, aku ingin sering pulang. Bolehkah?”
Ibu tertawa kecil. “Lho, pawon ini nggak pernah dikunci.” Dan aku tahu, bukan hanya pintu pawon yang terbuka tapi hatinya.
Pawon ini bukan hanya ruang dapur. Ia adalah tempat pulang. Tempat di mana masakan dibuat dari rindu, dan cerita dipanaskan dengan kasih.
Dan Ibu, tetaplah penjaga api di dalamnya.