Payung Merah di Hari Hujan

Oleh: Khansa Aisyatul Nabilla

Hujan turun sejak pagi. Langit tampak muram, menggantung seperti kain basah di atas kepala kota kecil itu. Jalanan licin, penuh genangan, dan angin meniupkan bau tanah bercampur asap kendaraan yang terburu pulang. Di tengah hiruk-pikuk yang dingin dan lembab itu, seorang perempuan tua masih bertahan di pojok jalan, berdiri di samping gerobak gorengannya.
Bu Rini. Wajahnya keriput, rambutnya yang memutih sebagian disembunyikan di balik kerudung sederhana. Namun, yang paling mencolok dari sosoknya adalah payung merah besar yang selalu dibuka lebar di atas gerobaknya. Warnanya telah pudar sebagian, gagangnya sudah miring, tapi payung itu tetap tegak, seperti semangat perempuan yang berdiri di bawahnya.
Sudah belasan tahun Bu Rini berjualan di sana. Dari pagi hingga menjelang senja, ia menjajakan gorengan hangat seperti tempe, tahu isi, bakwan, dan pisang goreng. Pelanggannya datang silih bergantian ada tukang becak, pegawai kantor, bahkan anak-anak sekolah yang suka minta bonus sambal.
Namun hari itu, langit seperti enggan bersahabat. Hujan deras mengguyur sejak subuh, membuat pembeli sepi dan dagangan belum juga habis. Tapi Bu Rini tidak pulang. Ia duduk di bangku kecil, melipat kedua tangannya sambil sesekali memandang ke arah jalan raya, seolah menunggu sesuatu.
“Bu, dagangnya sepi ya?” tanya seorang ibu muda yang tiba-tiba datang berteduh.
Bu Rini tersenyum pelan. “Iya, tapi tak apa. Hujan itu berkah juga.”
Ibu muda itu lalu melihat ke atas gerobak. “Payungnya masih yang lama ya bu?”
“Masih,” jawab Bu Rini sambil mengusap gagang payung merah itu, seolah menyentuh sesuatu yang hidup. “Ini hadiah dari anak saya. Dulu, waktu dia masih kuliah di Jogja. Katanya biar ibu nggak kehujanan saat jualan.”
Ibu muda itu mengangguk. “Sekarang di mana dia, Bu?”
“Merantau… Sudah hampir lima tahun. Kadang kirim kabar, kadang tidak. Tapi saya tahu dia baik-baik saja.”
Setelah beberapa saat, ibu muda itu pamit. Bu Rini kembali sendiri. Hujan belum reda. Angin makin kencang. Gorengan makin dingin. Tapi ia tetap duduk, menjaga gerobaknya, menjaga kenangan.
Menjelang sore, hujan turun lebih deras dari sebelumnya. Beberapa kali, payung merah itu nyaris terangkat angin. Bu Rini menahannya dengan tangan gemetar. Dagangannya tinggal setengah, tapi semua sudah basah. Ia mulai berkemas, meski langkahnya berat.
Saat ia hendak melipat payung, seorang pemuda berjaket hitam dan memakai masker tiba-tiba berhenti di depannya.
“Bu… masih ada gorengan?” tanyanya.
Bu Rini menoleh. Sinar mata tuanya menangkap wajah yang terasa asing namun anehnya… familiar. Ia mengerutkan kening, mencoba menerobos ingatannya.
Pemuda itu melepaskan maskernya perlahan. “Bu… Aku pulang.”
Hujan seperti berhenti seketika. Dunia menjadi hening. Bu Rini terdiam. Tangannya gemetar saat menyentuh wajah anaknya, lalu tanpa berkata sepatah kata pun, ia memeluk pemuda itu erat-erat, menggenggam seolah tak ingin melepaskannya lagi.
Air mata dan air hujan bercampur di pipinya. Payung merah itu jatuh, tergeletak di atas jalan yang basah.
“Aku… minta maaf bu,” kata pemuda itu pelan. “Lama ntidak mengabari. Banyak hal terjadi. Tapi aku pulang. Aku rindu… dan aku ingin jaga Ibu, seperti Ibu selalu menjaga aku.”
Bu Rini hanya mengangguk. Tak ada kata-kata yang cukup untuk membalas kehilangan yang terbayar. Hanya pelukan yang bisa mewakili.
Orang-orang mulai memperhatikan dari kejauhan, beberapa tersenyum, beberapa terharu. Seorang bocah menunjuk ke payung merah yang kini basah di tanah.
“Ibu itu dulu sering bilang, selama payung merah itu ada anaknya pasti pulang,” kata seseorang sambil tertawa kecil.
Hujan masih turun, tapi terasa hangat. Jalanan masih becek, tapi tampak lebih indah. Dan di pojok jalan itu, kisah seorang ibu dan anaknya kembali disatukan oleh kenangan, oleh cinta, dan oleh sebuah payung merah di hari hujan.

Exit mobile version