Oleh: Masrurotul Fuadah
Di sebuah desa kecil, tinggal seorang ibu bernama Siti. Ia hidup bersama dua anaknya, Fira dan Dewa, di sebuah rumah sederhana yang terbuat dari kayu. Setiap pagi, Siti bangun lebih awal dari ayam berkokok, memulai harinya dengan doa dan harapan agar bisa memberikan yang terbaik untuk keluarganya.
Suaminya, Arif, telah lama meninggal dunia akibat kecelakaan di ladang, meninggalkan Siti sebagai satu-satunya tumpuan hidup bagi kedua anaknya. Meski berat, Siti selalu berusaha tegar. Dia bekerja serabutan, mulai dari mencuci pakaian milik tetangga hingga membuat kerajinan tangan dari bambu yang dijual ke pasar. Tak jarang, ia juga ikut membantu para petani di sekitar desa untuk menanam dan memanen padi.
Siti selalu mengajarkan anak-anaknya untuk tidak pernah menyerah. “Kita mungkin tidak punya banyak uang, tapi kita punya semangat dan hati yang kuat,” kata Siti dengan senyum penuh kebanggaan setiap kali melihat Fira dan Dewa kembali dari sekolah dengan riang. Meskipun kadang-kadang mereka harus menahan lapar, Siti selalu memastikan anak-anaknya mendapat pendidikan. Ia tahu, hanya dengan pendidikanlah mereka bisa keluar dari kemiskinan.
Suatu hari, Fira yang kini sudah beranjak remaja, datang membawa kabar gembira. “Ibu, aku diterima di sekolah menengah yang jauh di kota! Aku bisa belajar lebih banyak di sana!” wajah Fira berseri-seri, matanya berkilau penuh semangat.
Namun, kabar itu membuat bimbang bagi Siti. Biaya sekolah di kota jauh lebih mahal dari yang ia perkirakan. Gaji dari kerajinan tangan dan pekerjaannya di ladang tak cukup untuk menutupi biaya hidup di kota. Siti terdiam, hatinya terombang-ambing antara harapan untuk masa depan anaknya dan kenyataan yang menekan.
Malam itu, setelah Fira dan Dewa tertidur, Siti duduk di teras rumah, menatap langit yang penuh bintang. Ia mengingat suaminya yang sudah tiada, dan perjuangan panjang mereka untuk membesarkan anak-anak. “Jika ini jalan terbaik untukmu, Fira,” bisiknya dalam hati, “Ibu akan berusaha apapun agar kamu bisa meraihnya.”
Keputusan itu diambil. Keesokan harinya, Siti pergi ke pasar dan menawarkan lebih banyak kerajinan tangannya. Ia juga meminjam uang dari tetangga yang baik hati. Tidak mudah, tetapi dengan keteguhan hati, Siti berhasil mengumpulkan biaya yang diperlukan untuk keberangkatan Fira ke kota.
Hari yang dinanti pun tiba. Dengan berat hati, Siti mengantar Fira ke stasiun. Dewa, yang masih kecil, memegang tangan ibunya erat, seakan tidak ingin berpisah. “Ibu, aku akan belajar dengan baik di kota. Aku janji,” kata Fira sambil memeluk ibunya dengan penuh kasih.
Siti mengangguk, matanya berkaca-kaca. “Ibu tahu kamu bisa. Jangan lupa, semangat itu lebih penting dari apapun.” Fira melambaikan tangan dari kereta yang mulai bergerak. Siti hanya berdiri diam, menatap kereta yang semakin menjauh, hati penuh haru dan bangga.
Masa-masa sulit tidak membuat Siti berhenti berjuang. Setiap hari, ia terus bekerja keras, meski terkadang rasa lelah menghampiri tubuhnya. Namun, ia tahu bahwa setiap tetes keringat yang ia keluarkan adalah untuk masa depan anak-anaknya. Dalam diam, Siti mendoakan agar anak-anaknya dapat mencapai semua impian mereka, melebihi apa yang ia pernah capai.
Beberapa tahun kemudian, Fira kembali ke desa setelah menyelesaikan pendidikannya. Ia membawa sertifikat dan pekerjaan di sebuah perusahaan besar di kota. Saat Fira tiba di rumah, ia berlari menuju ibunya yang sedang duduk di teras rumah.
“Ibu, aku berhasil! Aku punya pekerjaan yang baik sekarang. Semua ini berkat perjuangan ibu!” Fira memeluk ibunya dengan erat.
Siti menatap Fira dengan mata yang berkaca-kaca. “Tidak, Nak. Ini semua berkat kerja kerasmu. Ibu hanya memberi dorongan dan doa. Kamu yang telah menempuh jalanmu sendiri.”
Fira tersenyum, dan di sana, di pelukan ibunya, ia merasakan betapa besar perjuangan seorang ibu. Sebuah perjuangan tanpa pamrih, penuh kasih sayang, dan penuh pengorbanan. Sebuah perjuangan yang tak akan pernah berhenti.