CerpenSastra

Pilihan yang Berat

Karya : Feiza Rainannisa

Di sebuah kota kecil, Dinda, seorang wanita berusia 32 tahun, menjalani hidup sebagai tulang punggung keluarga. Ia adalah contoh nyata dari “generasi sandwich” terjebak di antara kewajiban menghidupi orang tua yang sudah lanjut usia dan membesarkan dua anak kecil.

Dinda bekerja sebagai pegawai administrasi di sebuah kantor swasta dengan gaji pas-pasan. Suaminya, Fajar, seorang pekerja lepas, hanya bisa membantu sebisanya karena pekerjaan yang tidak menentu. Setiap pagi, setelah memastikan dua anaknya Arka dan Naya siap sekolah, Dinda mengantar mereka sebelum berangkat kerja. Setelah itu, ia singgah ke rumah orang tuanya untuk memberikan uang belanja dan obat-obatan ayahnya yang mengidap diabetes.

Artikel Terkait

“Dinda, bulan ini harga obat naik lagi. Bisa tolong carikan yang lebih murah?” tanya ibunya suatu pagi.

Dinda hanya tersenyum kecil, menyembunyikan rasa berat di dadanya. “Iya, Bu. Nanti aku cek di apotek lain.”

Sepulang kerja, Dinda jarang punya waktu untuk beristirahat. Ia harus menemani anak-anak mengerjakan PR, memasak makan malam, dan memastikan kebutuhan orang tuanya tetap terpenuhi. Malam itu, ketika anak-anak sudah tidur, Fajar mendekatinya.

“Din, aku dapat tawaran proyek di luar kota, tapi aku harus pergi selama tiga bulan. Gimana menurutmu?” tanya Fajar hati-hati.

Dinda terdiam. Tawaran itu berpotensi membantu kondisi finansial mereka, tetapi bagaimana ia mengurus semuanya sendirian?

“Kamu yakin bisa ninggalin kita? Aku takut nggak sanggup sendiri,” jawab Dinda, suaranya bergetar.

Fajar meraih tangan Dinda. “Aku tahu ini berat, tapi mungkin ini jalan keluar buat kita.”

Dinda terdiam lagi. Malam itu, ia merenung di depan meja makan, melihat catatan keuangan yang semakin menipis. Ia teringat wajah ayahnya yang mulai renta, ibunya yang selalu berusaha tersenyum meski cemas, serta anak-anaknya yang polos dan penuh harapan.

“Kenapa hidup harus serumit ini?” gumamnya lirih.

Keesokan harinya, Dinda akhirnya setuju dengan tawaran Fajar. Ia sadar, jika ingin keluar dari tekanan ini, ia harus berani mengambil risiko. Selama tiga bulan berikutnya, ia berjuang sendirian. Mengurus anak-anak, pekerjaan, dan orang tuanya membuatnya hampir menyerah.

Namun, perlahan, ia mulai menemukan kekuatan dalam rutinitasnya. Bantuan kecil dari teman-teman kantor, dukungan dari tetangga, dan semangat dari anak-anaknya menjadi penyemangat.

Tiga bulan kemudian, Fajar pulang dengan kabar baik. Proyeknya sukses, dan mereka mendapat penghasilan yang cukup untuk melunasi sebagian utang.

Dinda menyadari, meski berat, peran generasi sandwich mengajarkannya banyak hal. Ia belajar arti pengorbanan, tanggung jawab, dan ketangguhan. Di tengah segala kesulitan, ia tetap percaya bahwa keluarga adalah prioritas utama yang layak diperjuangkan, apapun yang terjadi.

Hidup memang tak pernah sempurna, tapi Dinda tahu, ia selalu punya alasan untuk terus melangkah

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga
Close
Back to top button