
Oleh Hamidulloh Ibda
Di Balik Kata “Lembur”
Katamu:
“Lembur, Sayang. Ada rapat mendadak.”
Tapi jaketmu berbau parfum asing,
dan senyummu pulang tak pernah utuh lagi.
Aku menghitung malam
dari sisa detak yang kau curi,
sementara jari-jarimu
mengetik “aku pulang”,
di ranjang yang bukan milikku lagi.
Tiga Cangkir Kopi
Kita dulu cukup dengan satu cangkir.
Lalu dua.
Kini tiga—yang satu bukan untukku.
Ada tawa yang kau simpan di saku,
bukan untuk rumah ini,
melainkan di tempat yang tak bisa kusebut
tanpa ingin menangis.
Aku mencium jejak bibir lain
di tepi gelas yang tak semestinya,
dan kamu bilang:
“Itu cuma rekan kerja biasa.”
Surat dari Dada yang Dikhianati
Aku menulis ini dengan tinta sabar,
tapi kertasnya sudah lusuh oleh air mata.
Kau bilang:
“Aku tak pernah berubah.”
Tapi aku melihat perubahan di mata itu,
yang dulu jujur seperti anak kecil,
kini licik seperti teka-teki silang
yang jawaban akhirnya:
bukan aku.
Selimut Musim yang Tersingkap
Kau pikir aku tak tahu
wangi asing di kerah kemejamu?
Aku bukan buta, hanya terlalu mencinta
hingga membiarkanmu berdusta berkali-kali.
Tapi malam tak bisa terus dibohongi.
Bulan mencatat tiap bisik
yang tak kau bisikkan padaku.
Kau pergi dengan alasan “angin”,
padahal badai itu kau cipta sendiri.
Di Meja Makan, Aku dan Kebohongan Duduk Bersama
Piring-piring bersih,
tapi ada rasa pahit tersisa di lidah.
Bukan karena masakan,
tapi karena percakapan yang kau hindari.
“Dia hanya teman.”
Kalimat yang kau ulang seperti mantra.
Tapi tiap kali matamu berkedip,
aku tahu:
ada dunia lain yang sedang kau cumbui.
Dan aku?
Sekadar pengisi latar
dalam drama yang akhir ceritanya
sudah kau tulis tanpa namaku lagi.
Â
-Hamidulloh Ibda, adalah international reviewer pada sejumlah 31 jurnal, editor Frontiers in Education, dan 25 jurnal nasional dan jurnal nasional terindeks Sinta. Ia aktif menulis artikel populer, puisi, dan belakangan mengembangkan teori DADIAPIC untuk menulis artikel ilmiah.