Oleh: Ghaida Mutmainnah
Di era sekarang, Instagram bukan lagi sekadar aplikasi untuk berbagi foto. Ia telah menjadi panggung, di mana jutaan orang berlomba menunjukkan sisi terbaik hidup mereka. Dari outfit yang selalu “on point” sampai foto-foto estetik di kafe hits, semua berlomba-lomba untuk tampil sempurna. Namun, di balik feed yang penuh warna itu, ada fenomena yang makin sering kita dengar, rela nggak makan demi Instagram.
Ini bukan hiperbola. Banyak orang terutama generasi muda lebih memilih menahan lapar demi membeli kopi latte dengan latte art cantik, dessert lucu, atau outfit baru agar bisa diabadikan dalam bentuk foto. Uang yang semestinya cukup untuk makan sehari-hari, akhirnya habis untuk memenuhi standar estetika yang tak tertulis di media sosial.
Media sosial menciptakan sebuah “ilusi keseharian” yang glamor. Ketika kita scroll, kita melihat orang-orang seolah-olah selalu liburan, selalu makan enak, selalu pakai baju baru. Akibatnya, muncul tekanan sosial yang halus: kalau nggak ikut tampil keren, kita takut dianggap “ketinggalan zaman” atau bahkan invisible di lingkaran pertemanan.
Sayangnya, demi mengikuti standar itu, banyak yang mengorbankan kebutuhan pokok mereka. Makan nasi sederhana di warung dianggap nggak pantas untuk masuk feed, sedangkan secangkir kopi seharga setengah uang makan harian jadi simbol eksistensi.
Tidak ada yang salah dengan ingin terlihat bagus. Memang, manusia punya naluri untuk diterima secara sosial. Namun, ketika itu sampai membuat kita lapar karena uang habis untuk sekadar foto ini jelas alarm bahaya.
Kita lupa bahwa di balik foto-foto yang tampak effortless, sering ada perjuangan finansial yang disembunyikan. Ada yang harus berutang paylater demi outfit baru, ada yang rela hanya makan sekali sehari agar bisa nongkrong di kafe hits.
Media sosial seharusnya jadi alat berbagi cerita, bukan ajang kompetisi gaya hidup. Kalau kita terus terjebak di dalamnya, kita akan kehilangan kebahagiaan yang sederhana: makan enak tanpa pusing posting, hangout tanpa harus mikir angle kamera.
Kita juga perlu ingat, follower tidak akan tahu (dan tidak akan peduli) apakah setelah foto diambil kita pulang ke kos sambil nahan lapar. Yang mereka lihat hanya hasil akhir sementara dampaknya ke mental dan fisik kita tidak pernah mereka pikirkan.
Mungkin sudah waktunya kita bertanya pada diri sendiri, apakah hidup ini untuk Instagram, atau Instagram untuk hidup kita?Foto estetik memang menyenangkan, tapi tubuh kita butuh nutrisi, bukan likes. Rela nggak makan demi Instagram sama saja dengan menjadikan validasi orang lain sebagai prioritas utama.
Feed boleh estetik, tapi hidup harus realistis. Jangan sampai kita terjebak dalam dunia maya, sementara di dunia nyata perut kita keroncongan.