CerpenSastra

Rindu di Bangku Kosong

Oleh: Ghaida Mutmainnah

Bangku itu masih kosong. Di sudut kanan ruang kelas, tepat di dekat jendela yang menghadap lapangan sekolah, tempat cahaya pagi selalu tumpah dengan lembut. Setiap hari, Dita menoleh ke sana. Setiap hari, bangku itu menatapnya kembali dalam diam—seolah menyimpan kisah yang tak selesai, seolah mengundang rindu yang tak pernah benar-benar pergi.

Dita duduk di bangku keduanya, selalu dengan tangan terlipat di atas meja, pandangan kosong pada papan tulis, dan telinga setengah mendengar suara guru. Tapi jiwanya melayang, kembali ke hari-hari ketika bangku itu tak pernah kosong. Ketika Lila duduk di sana, dengan senyum lebarnya, tawa yang melengking, dan coretan-coretan kecil di meja yang mereka anggap “sandi persahabatan”.

Artikel Terkait

Lila, sahabatnya sejak kelas satu. Mereka tak pernah terpisah—seperti huruf dan tinta, seperti siang dan bayang-bayang. Tapi waktu tak pernah peduli pada janji anak-anak. Suatu pagi, dua bulan lalu, kepala sekolah berdiri di depan kelas dengan mata yang tak berani menatap murid-muridnya. “Anak-anak,” katanya lirih, “Lila telah berpulang. Kecelakaan. Kami semua kehilangan…”

Dita tak pernah bisa menyelesaikan kalimat itu dalam pikirannya. Kata “meninggal” terlalu berat untuk dibawa. Terlalu dingin untuk menggambarkan kehangatan yang pernah ia rasakan dari pelukan Lila, dari canda mereka di jam istirahat, dari mimpi-mimpi yang mereka rajut bersama.

Kini, setiap pagi, Dita membawa dua bekal—satu untuknya, satu lagi tetap ia letakkan di atas bangku kosong itu. “Kalau kamu lapar di surga, makan ya,” bisiknya. Ibu tahu, dan hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Kadang, Dita membayangkan Lila duduk di sana, menjulurkan lidah saat makan nugget buatan Ibu, atau mengomel soal pelajaran matematika yang membosankan.

Hari-hari berlalu. Sekolah tetap hidup. Guru tetap mengajar. Teman-teman mulai tertawa lagi, meski sesekali melirik bangku kosong itu dengan tatapan yang sama seperti Dita: setengah takut, setengah berharap. Tapi Dita tak berubah. Ia tetap menyisakan ruang untuk Lila. Di cerita-ceritanya. Di mimpinya. Di setiap tugas kelompok yang ia kerjakan sendirian karena enggan mencari pasangan baru.

“Dit, kamu gak mau gabung kelompok sama kami?” tanya Rahma suatu hari.

Dita tersenyum tipis. “Nggak usah. Aku ngerasa Lila masih di sini.”

Mereka hanya mengangguk, tak berani membantah. Semua tahu, rindu itu tidak bisa dipaksa sembuh. Ia butuh ruang untuk bernapas. Butuh waktu untuk menyatu.

Suatu siang yang gerimis, Dita duduk sendirian di kelas. Hujan membuat suasana jadi muram, dan udara menyimpan aroma tanah basah yang getir. Ia menatap keluar, menulis sesuatu di buku hariannya—kebiasaan yang ia mulai sejak kehilangan Lila. Halaman-halaman itu penuh dengan surat yang tak pernah akan dikirim. “Hai Lila… hari ini aku dapet nilai bagus di IPS. Kamu pasti bangga, ya?”

Tiba-tiba, selembar kertas kecil jatuh dari sela-sela meja Lila. Dita terperanjat. Dengan tangan gemetar, ia mengambilnya. Itu surat, tulisan tangan Lila. “Untuk Dita, kalau kamu menemukan ini, berarti aku sudah gak di sini lagi.”

Air mata Dita langsung jatuh sebelum ia selesai membaca. Surat itu ditulis dengan spidol ungu, warna favorit Lila. “Maaf ya, Dit. Aku sering banget bilang ‘kalau besok aku nggak ada, kamu harus tetap semangat.’ Tapi aku nggak pernah serius waktu ngomong itu. Sekarang, aku serius. Aku sayang kamu. Kamu sahabat terbaikku.”

Dita memeluk kertas itu. Hatinya seperti ditusuk dan disembuhkan dalam waktu yang sama. Rasa sakit karena kehilangan seketika menyatu dengan kehangatan dari kenangan.

Esoknya, Dita datang lebih pagi ke sekolah. Ia membawa bunga, dan meletakkannya di atas bangku kosong itu. “Aku nggak akan isi tempatmu, Lil. Tapi aku akan isi dunia ini dengan kenangan kita.”

Hari-hari setelah itu tak lagi sama. Dita mulai ikut tertawa bersama teman-teman. Ia mulai ikut kelompok belajar. Tapi ia tetap menyisakan sejenak waktu di pagi hari untuk bicara dengan bangku kosong itu. “Pagi, Lil. Aku mimpi kamu semalam. Kita main ayunan di taman sekolah…”

Guru-guru memperhatikan perubahan itu. Mereka tidak lagi khawatir. Rindu Dita telah menemukan bentuk barunya: bukan lagi kesedihan, tapi penghormatan.

Tahun berlalu. Dita kini duduk di kelas enam. Bangku kosong itu tetap ada, tetap bersih, tak pernah diduduki siapa pun. Semua murid baru diajarkan untuk menghormatinya. “Itu tempat Lila, anak yang penuh semangat dan cinta,” kata Pak Yono, wali kelas mereka.

Dita menjadi ketua kelas, siswa teladan, dan pembaca puisi di setiap upacara. Puisinya selalu tentang rindu. Tentang kehilangan. Tentang cinta yang tetap tumbuh meski pemiliknya telah pergi.

Suatu hari, ia berdiri di depan kelas, membawa puisinya:
“Di bangku kosong itu,
kusimpan tawa yang tak lagi bersuara,
kusimpan pelukan yang tak lagi terasa,
tapi cinta itu tak pernah hilang.
Ia hidup,
dalam setiap langkahku,
dalam setiap hariku,
bersama rindu yang tak ingin sembuh.”
Tepuk tangan menggema. Beberapa guru menyeka air mata. Kepala sekolah mendekati Dita setelah acara, berkata, “Kamu telah mengajarkan kami semua tentang arti merindukan seseorang—dengan cara yang paling indah.”

Hari kelulusan tiba. Siswa-siswa bersorak, memeluk, menangis. Tapi Dita hanya berdiri di depan bangku kosong itu, sekali lagi. Ia meletakkan toga kecil yang ia buat sendiri, lengkap dengan nama “Lila” di atasnya. “Kita lulus, Lil,” bisiknya. “Kamu tetap lulus bersamaku.”

Angin sore menyapu rambutnya, dan sejenak, Dita merasa seseorang memegang tangannya. Ia menoleh, tak ada siapa-siapa. Tapi senyum itu muncul, entah dari mana. Senyum yang ia kenal. Senyum Lila.

Dita melangkah pergi dari kelas itu, tapi ia tahu, ia tak pernah benar-benar meninggalkan Lila. Rindu itu akan selalu ada—di bangku kosong, di sudut hati yang paling dalam, yang hanya bisa diisi oleh satu nama.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button