Oleh: Sufi Saniatul Mabruroh
Jemari Arya menari di atas keyboard laptop, namun pikirannya melayang jauh. Baris-baris kalimat di layar monitor terlihat seperti labirin tak berujung, semakin dibaca semakin membuatnya pusing. Bab tiga skripsinya terasa seperti gunung yang tak kunjung bisa didaki. Ia menghela napas panjang, menyandarkan punggungnya di kursi usang kamarnya.
Matanya tanpa sadar menatap pigura foto di meja belajar. Di sana, terpampang senyum lebar Arya bersama teman-teman SMA-nya, lengkap dengan seragam putih abu-abu yang penuh coretan tinta perpisahan. Seketika, rasa hangat menjalari hatinya. Masa-masa SMA… betapa ringannya dulu hidup ini. Tugas sekolah terasa seperti tantangan seru yang bisa dikerjakan bersama. Ada canda tawa di kantin, kejar-kejaran saat jam kosong, dan persahabatan yang terasa begituSolid. Arya merindukan semua itu. Ia rindu obrolan tanpa beban dengan Risa dan Bima di bangku belakang kelas, rindu sorakan kemenangan saat tim basket sekolah mereka mencetak angka, bahkan rindu teguran guru BK yang dulu terasa menyebalkan.
Dibandingkan dengan sekarang, semuanya terasa begitu berat. Skripsi ini seolah menghisap seluruh energi dan semangatnya. Otaknya dipenuhi dengan teori-teori rumit, metodologi penelitian yang membingungkan, dan revisi dosen yang tak ada habisnya. Ia jadi sering bertanya-tanya, apakah ia benar-benar mampu menyelesaikan ini semua?
Kemudian, pikiran Arya melompat lebih jauh ke depan, ke gerbang kelulusan yang sebentar lagi akan ia lewati. Setelah wisuda, lalu apa? Ia akan menyandang gelar sarjana, tapi bayangan tentang dunia kerja justru membuatnya semakin cemas. Jurusan yang ia ambil memang cukup menjanjikan, tapi persaingan di luar sana pasti sangat ketat. Apakah ia punya cukup kemampuan dan pengalaman untuk bersaing dengan ratusan, bahkan ribuan lulusan lainnya? Pekerjaan seperti apa yang akan ia dapatkan? Apakah pekerjaan itu akan sesuai dengan minat dan passion-nya?
Overthinking sudah menjadi teman sehari-harinya. Ia membayangkan skenario-skenario terburuk. Bagaimana jika ia tidak kunjung mendapatkan pekerjaan? Bagaimana jika pekerjaan yang ia dapatkan ternyata tidak sesuai dengan ekspektasinya? Bagaimana jika ia gagal dan mengecewakan orang tuanya yang sudah susah payah membiayai kuliahnya?
Rasa cemas itu bagai benang kusut yang semakin lama semakin membelit pikirannya. Ia jadi sulit tidur nyenyak, nafsu makannya menurun, dan terkadang ia merasa begitu sesak di dada tanpa alasan yang jelas. Arya merasa terjebak di antara kerinduan akan masa lalu yang terasa indah dan ketakutan akan masa depan yang penuh dengan ketidakpastian.
Ia meraih ponselnya, membuka grup chat SMA. Beberapa teman sudah bekerja, beberapa masih melanjutkan studi. Melihat postingan mereka terkadang membuatnya merasa iri, seolah mereka sudah memiliki arah yang jelas dalam hidup, sementara ia masih berkutat dengan kegelisahan.
Arya menghela napas lagi. Ia tahu, meratapi masa lalu dan mencemaskan masa depan tidak akan menyelesaikan skripsinya. Ia harus kembali fokus, mencoba memecah gunung bab tiga itu menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Mungkin, sesekali ia perlu menghubungi teman-teman SMA-nya, sekadar bertukar cerita dan mengenang masa-masa indah itu untuk membangkitkan kembali semangatnya. Dan untuk rasa takut akan masa depan, mungkin ia perlu mulai mencari informasi tentang lowongan pekerjaan, mempersiapkan diri dengan menambah keterampilan, dan yang terpenting, menanamkan keyakinan bahwa ia akan mampu menghadapi tantangan apa pun yang menantinya.
Rindu masa lalu memang tak bisa dihindari, dan rasa takut akan masa depan adalah hal yang wajar. Namun, Arya sadar, ia tidak bisa terus menerus terperangkap di antaranya. Ia harus belajar untuk menghargai kenangan indah sebagai penyemangat, dan menghadapi masa depan dengan persiapan dan keberanian. Dengan tekad yang sedikit lebih kuat, Arya kembali menatap layar laptopnya. Masih banyak yang harus dikerjakan, tapi ia tidak sendiri. Ada harapan di setiap baris kalimat yang akan ia tulis, dan ada masa depan yang menanti untuk ia raih.