CerpenSastra

Rumah Usang

Oleh: Riska Meliyana

Sundara, seorang gadis desa berkulit sawo matang itu berlari menuju tengah sawah sesaat setelah suara sang nenek terdengar memanggilnya. Gadis itu melewati jalan setapak di antara hamparan sawah yang membentang luas mengelilinginya. Terik matahari siang hari menyentuh ujung-ujung daun padi memancarkan kilauan keemasan. Angin semilir juga berhembus lembut menerpa wajahnya. Sundara berhenti tepat di depan sebuah gubuk kecil sederhana tempat neneknya berdiri sambil melambaikan tangan. Matanya yang menyipit di atas senyumnya yang hangat membuat senyum Sundara semakin lebar.
“Ayo Nok, makan dulu.” Ajak sang nenek sambil menyiapkan bekal makanan yang tadi ia bawa dari rumah.
“Siap, Nek.” Jawab Sundara ceria sambil membantu sang nenek membuka tutup rantang.
Setelah menyantap makan siang dan menyelesaikan pekerjaan di sawah, mereka berdua berjalan pulang menuju rumah sederhana peninggalan kakeknya. Mereka hanya tinggal berdua, kakeknya meninggal satu tahun yang lalu, ayahnya meninggalkannya sewaktu ia berumur kurang dari dua tahun, sedangkan ibunya meninggal sewaktu membawanya lahir ke dunia. Kisah tragisnya itu membuat gadis manis yang baru saja lulus SMA itu mendapat banyak perhatian dari tetangga sekitar. Mereka yang merasa iba bahkah sering kali membelikan berbgai kebutuhan untuk dirinya dan neneknya. Namun, walaupun hidupnya tak luput dari kasih sayang nenek dan orang-orang di sekitarnya, terkadang Sundara merasa kesepian dan iri melihat teman-temannya yang mendapat kasih sayang dari orang tuanya. Sundara juga terkadang iri melihat kehidupan teman-temannya yang terbilang mapan, tanpa kesusahan. Gadis itu terkadang sedih melihat remaja seusianya yang bersenang-senang di luar, sedangkan kehidupannya hanya terbatas pada rumah dan sawah setiap harinya.
Sundara yang sudah terbiasa hidup sederhana selama bertahun tahun awalnya tidak memiliki ambisi untuk mengejar dunia. Namun, setelah kepulangan sahabat masa kecilnya dari kota, Sundara berubah menjadi bukan seperti dirinya. Sore itu sahabatnya mengunjungi rumah sederhananya sehari setalah pulang dari perantauan.
“Kamu pulang kapan, Rina?” tanya Sundara setelah meletakkan secangkir teh di meja.
“Aku balik kemarin, Ra. Kamu kok makin kurus aja sih, banyak pikiran ya?” Rina menatap lekat Sundara dari atas sampai bawah. Nada bicaranya terdengar mengejek di telinga Sundara.
“Ah, tidak kok,” jawab Sundara canggung.
“Kamu kerja apa setelah lulus? Masih nganggur, ya? Tau gitu mending tidak usah sekolah, Ra. Mending ikut aku saja ke kota, hidup enak ga usah panasan lagi di sawah.”
Nada bicara Rina yang selalu terdengar mengejek di telinga Sundara itu membuat harga dirinya tergores. Pertanyaan bertubi-tubi dari orang yang ada di depannya itu membuat Sundara mengerutkan dahi. Memang benar adanya bahwa dirinya kini belum mendapat pekerjaan, tapi pendidikan baginya adalah hal yang penting. Namun, di samping itu, Sundara juga meragukan pemikirannya sebelumnya. Apakah nasibnya akan berbeda jika ia hidup di kota?
Sehari, dua hari, dan hari ke tiga setelah kunjungan sahabatnya, Sundara sudah tidak bisa menampung pemikirannya. Ia membicarakan keputusannya untuk merantau pada neneknya yang menimbulkan pertengkaran hebat.
“Kamu itu anak gadis, nanti di sana mau sama siapa? Kalau ada apa-apa bagaimana? Wong di rumah saja apa-apa nenek yang menyiapkan, gimana mau hidup sendiri di perantauan? Mending di sini aja sama Nenek, nanti kita jual sawah biar kamu bisa kuliah.” Kira-kira seperti itu kalimat terakhir yang Sundara dengar dari mulut neneknya, sebelum ia bergegas pergi menemui Rina dan ikut pergi ke kota.
Empat tahun lamanya Sundara pergi tanpa pernah kembali. Ia merasakan kerasnya perkotaan itu sendirian. Kehidupan di kota yang ramah dan serba mewah yang ia bayangkan itu ternyata tidak ada. Selama ini ia bersusah payah mengeluarkan peluh tanpa ada tempat untuk mengeluh. Ia bekerja tanpa kenal lelah, berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain, hingga akhirnya terpaksa menjalani profesi sebagai pekerja malam karena tekanan kebutuhan hidup yang semakin menghimpit. Tidak disangka ternyata kehidupan mewah Rina selama ini berasal dari sini. Uang yang ia dapatkan memang cukup banyak, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa itu adalah hasil menjual diri. Setiap sehabis bekerja, Sundara menyendiri dengan pikiran yang mencari-cari apa yang lebih hina daripada dirinya saat ini? Ia meninggalkan nenek beserta limpahan kasih sayangnya, mengorbankan pendidikannya, dan terjerumus pada kerasnya dunia. Ingin pulang pun rasanya malu dipikirnya.
Hari dan bulan berganti, akhirnya Sundara memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya. Ia pulang ke rumah tua sederhana namun penuh dengan kenyamanan itu. Sesampainya di rumah, dijumpainya sarang laba-laba di setiap sudut rumah, debu yang juga merebak dimana-mana membuat Sundara sesekali terbatuk. Ia memanggil-manggil neneknya sambil mengucapkan salam, namun tidak ada jawaban. Lama menunggu, Sundara memutuskan menghampiri tetangganya untuk menanyakan keberadaan neneknya.
“Assalamualaikum, Bu Iyem, nenek lagi di sawah, ya?” Sundara memasuki rumah Bu Iyem sambil bertanya.
“Sundara, kamu pulang kapan, Nok?” Bu Iyem nampak terkejut keluar dari dapur mendengar suara Sundara.
“Baru pulang, bu, nenek di sawah, ya?” Sundara mengulangi pertanyaannya, membuat Bu Iyem memalingkan muka dalam sekejap. Ekspresi yang tadinya nampak terkejut itu, kini berubah menjadi ekspresi marah dan tak suka.
“Kema saja kamu? Empat tahun tidak ada kabar, nenekmu sekarat dan mati sendirian setahun yang lalu, Sundara!.” Mendengar nada marah bercampur kegetiran itu membuat Sundara membeku di tempat. Mulut sundara menolak mengeluarkan suara, tenggorokannya tercekat, hingga sesaat setelahnya pandanggannya mengabur dan semuanya gelap, Sundara pingsan.”
Di sinilah Sundara sekarang, makam yang baru berumur satu tahun itu nampak usang dan tak terawat, menandakan bahwa tidak ada seorang pun yang mengunjunginya. Tubuh Sundara bergetar menangis sendirian, menahan semua penyesalan. Buah dari keiriannya adalah kehancuran dirinya, dan kepergian neneknya. Sundara sering kali berandai-andai akan sesuatu yang sudah terjadi. Sebelum pergi, ia berandai akan kehidupan mewah di kota, dan sekarang ia berandai jika saja ia tidak pergi dan menikmati kesederhanaannya di desa, apakah semua akan berbeda?.
Butuh waktu lama bagi Sundara untuk menerima takdirnya. Ia menyesali bahwa apa yang ia dapatkan di kota tidak sebanding dengan kedamaian yang ia rasakan di rumahnya, di kampung halamannya. Tidak ada seharipun yang tidak ia sesali selama empat tahun ia meninggalkan neneknya. Rumahnya kini telah usang, neneknya telah berpulang, apa yang ia hasilkan dari kota tidak ada yang bisa dibanggakan, terlambat juga baginya untuk melanjutkan pendidikannya. Sebegitu besar keirian menghancurkannya, sebegitu cepat waktu menghukum kedurhakaannya. Namun, sehancur apa manusia, Tuhan tidak pernah meninggalkannya. Sundara diberi kekuatan untuk bangkit, dan kembali merakit masa depan meski sebatang kara.

Artikel Terkait

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga
Close
Back to top button